03. AFIF RINADI - KESEDIHAN SESAAT
05.00
Menjadi
seorang masinis bukanlah suatu perkara yang mudah, mengemudikan satu rangkaian
kereta api dengan ratusan penumpang di belakang yang seluruhnya menaruh harapan
kepada seorang masinis agar dapat membawa kereta api itu dengan selamat. Disaat
penumpang yang ada dibelakangnya terlelap dalam buaian mimpi, sang masinis pun
terus berharap dan berdoa kepada sang pencipta, berilah aku kemampuan untuk
mengantarkan penumpang ku Tuhan. Bahkan mungkin ia rela diambil nyawanya
terlebih dahulu asalkan penumpang yang ia bawa selamat.
Begitulah gambaran suasana 5 tahun lalu yang dialami oleh
ayah Lia. Dan tanggung jawab berat itulah yang menyebabkan ayah Lia kembali ke
pangkuan sang pencipta. Disaat ia bersama assisten masinis nya, beliau telah
yakin bahwa sinyal telah menyala hijau dan menunjukan indikasi kereta berjalan
lewat jalur lurus. Tapi apa daya, ternyata semua itu salah, kereta yang
seharusnya berjalan di jalur lurus, tiba-tiba berbelok ke arah kanan yang
disana terdapat rangkaian ka barang yang sarat muatan, usaha demi usaha
dilakukan untuk menghentikan laju kereta yang bagaikan kerbau yang dipecut dan
lari dengan kencang, dan semua itu sia-sia.
Suara tumburan antar kereta itu pun
lantas mengejutkan penduduk sekitar, tak lama jerit pilu mulai mewarnai gelap
nya malam, seluruh penumpang dinyatakan selamat dalam peristiwa itu meskipun
tak sedikit penumpang yang luka-luka. Tetapi maut yang telah datang tak ingin
pulang dengan tangan kosong, sang masinis dan assisten nya menjadi korban dalam
peristiwa kelam tersebut.
Setelah mengetahui peristiwa
tersebut dan ucapan bela sungkawa dari kantor pusat yang mendatangi kediaman
istrinya, istrinya merasa terpukul jiwa dan raganya, sekujur tubuhnya kaku, tak
ada sepatah kata yang terucap dari bibir pucat istrinya. Choirunnisa Amalia
atau biasa dipanggil Lia yang masih berusia 5 tahun pun hanya terdiam dengan
pandangan kosong melihat ibu nya, dan ia berfikir ada yang tak beres saat itu.
Perlahan dan dengan tegar ibunya memberi tahu Lia soal peristiwa tersebut.
Trauma mendalam mewarnai hari-hari
ibu Lia, melihat Lia yang suka sekali dengan kereta api membuat khawatir bahwa
anaknya memiliki keinginan menjadi seorang masinis. Meskipun ia juga berfikir
mana mungkin ada masinis seorang wanita? Ibu Lia berjanji untuk tidak
mengizinkan anaknya menjadi seorang masinis.
...
Lia memang sejak berusia 6 tahun memiliki euforia
tersendiri bila melihat kereta api melintas di depan rumahnya. Bersama ibunya,
bila kereta melintas, entah apa yang ada dipikiran Lia, dia berteriak
kegirangan, ibu nya pun bergeleng-geleng. Tak ada rasa takut dari anak tersebut
atau trauma bila melihat kereta api dan tak membangkitkan memori lama Lia
tentang ayahnya.
Beranjak memasuki usia sekolah menengah pertama, perempuan
anggun ini terus menggeluti kebiasaan yang dianggap banyak orang aneh, tetapi
bagi Lia adalah suatu kepuasan batin tersendiri bila melihat kereta melintas.
Lia mengikuti sebuah komunitas yang memang semua orang
didalamnya mencintai kereta api. Di komunitas tersebut hanya ada sedikit anak
perempuan, maklum saja hanya untuk menikmati indahnya liukan si ular besi ,
terkadang ia dan kawan-kawannya rela berjalan dibawah panasnya hari, naik
keatas bukit bahkan hingga menyusur ke dasar lembah, hal yang jarang diminati
oleh perempuan pada umumnya.
Ia
menceritakan semua yang ia lakukan di komunitas yang setengah gila dengan
kereta api tersebut kepada orang tuanya. Yaa... tak apa lah selama itu positif
dan tidak membahayakan dirinya, begitulah kiranya respon ibu Lia. Sekali lagi,
ibu Lia pun tetap takut bila kebiasaan ini akan menimbulkan semangat Lia untuk
menjadi masinis seperti ayahnya.
Ia tentu saja tak sendirian dalam mengikuti tiap kegiatan,
ia ditemani seorang laki-laki bernama Galang Abdul Aziz, sering dipanggil Galang,
laki-laki berkacamata ini adalah orang pertama di SMP Lia yang mengetahui
kebiasaan Lia, karena memiliki kesamaan minat, ia pun mengajak Lia untuk
bergabung ke komunitas pecinta kereta tersebut.
Saat
memasuki usia SMA, ia pun makin serius menggeluti dunia kereta api, meski hanya
sebatas fans, tak tanggung-tanggung
ia pun telah banyak mengikuti kegiatan yang diadakan oleh komunitas tersebut yang
berkerja sama dengan PT.Kereta Api Indonesia (Persero). Ia juga sering ditunjuk
sebagai perwakilan dari komunitasnya disaat ada wawancara khusus, namanya pun
sudah banyak dikenal diberbagai majalah, media elektronik dan lainnya.
Berawal
dari musim liburan tahun lalu, komunitas yang ia ikuti mengadakan sebuah posko
untuk membantu calon penumpang di suatu stasiun di Jakarta. Bersama Galang
mereka berdua beranjak menuju stasiun tersebut. Ibu Lia pun sudah merasa percaya
terhadap Galang untuk pergi bersama Lia, karena memang sudah dari tingkat
sekolah dasar mereka berdua bermain. “Jangan pulang terlalu malam... bila shift kalian telah selesai segera
pulang,” Kalimat dari ibu Lia itu yang selalu terngiang-ngiang di telinga
mereka berdua.
Mereka
baerdua tiba di stasiun tersebut, sudah banyak rekan-rekan yang menunggu
disana. Sebelum mulai bertugas, komunitas tersebut melaksanakan apel pagi
terlebih dahulu yang di pimpin kepala stasiun setempat begitu juga Galang dan Lia.
Tak ada canda tawa di saat mereka bertugas, karena dalam pikiran mereka, kami
sedang membuktikan keseriusan mereka dalam mencintai kereta api.
Kereta
pemberangkatan kedua pun berangkat saat waktu menunjukkan pukul 06.15.
“Jalur
1 kereta api Fajar Utama Yogyakarta tujuan Stasiun Yogyakarta aman diizinkan
berangkat, kepada seluruh penumpang dan kru KA yang bertugas kami mengucapkan
selamat jalan semoga selamat sampai tujuan, kami atas nama PT. Kereta Api
Indonesia daerah operasi 1 Jakarta mengucapkan
terima kasih atas kepercayaan anda
menggunakan jasa angkutan kereta api.”
Ditengah tugas, Galang bercakap-cakap dengan Lia. “Apakah
kamu ingin menjadi seorang masinis juga seperti ayahmu, apa kau tak takut soal
peristiwa tersebut?”. Seketika, saat Lia mendengar kata ayahmu, ia sedikit teringat
kepada ayahnya. Dia sebenarnya tak ingin menceritakan hal tersebut.
“Mbak... permisi, kereta Gadjahwong tujuan Jogja kereta nomor 4 di
sebelah mana ya?”
Beruntung, ada
seorang bapak dengan keluarganya yang bertanya kepada Lia, sehingga Lia
memiliki kesempatan menghindar untuk menjawab pertanyaan Galang. Karena mereka yang
bertugas posko di stasiun tersebut dituntut untuk profesional, Lia langsung
meninggalkan Galang dan membantu bapak tersebut. Meski begitu Galang pun tahu Lia
tidak ingin menjawab pertanyaan yang ia lontarkan.
Disore harinya,
disaat shift mereka sudah selesai,
mereka berdua pulang bersama. Galang pun masih bertanya-tanya soal pertanyaannya
yang tak Lia jawab tadi siang. Ia kembali menanyakan hal tersebut. Dengan nafas
panjang Lia pun akhirnya menjawab pertanyaan itu, “Iya memang aku akan menjadi
masinis, masinis wanita pertama bila perlu. Dan memang ayahku berpulang
kepangkuan Yang Maha Kuasa dalam tugas yang sarat tanggung jawab itu, tapi kau
tak boleh mengingatkan ku kepada peristiwa itu, itu hanya menyurutkan semangatku, aku tak mau berlarut
dalam kesedihan.” Galang terdiam. “Apakah ibumu tahu soal keinginan gila mu
ini?” tanya Galang. “Mungkin saja tahu, tapi beliau pasti melarangku, beliau
takut hal yang sama seperti ayah akan menimpaku.”
Wanita yang nekad...
Tahun ini adalah tahun kelulusan Lia
dari bangku SMA nya. Ia berniat akan memberitahu ibunya soal keinginan lamanya.
Ia mengumpulkan keberaniannya berbulan-bulan untuk menyatakan mimpinya ini. Ya
pada saat itu akan kunyatakan atau tidak sama sekali, kalimat itu yang selalu
menjadi semangat Lia.
Hari ini adalah hari kelulusan Lia dari
bangku SMA nya, ia tak menghiraukan kelulusannya, karena ia tahu pasti semua
murid di sekolah ini diusahakan mati-matian untuk oleh pihak sekolah untuk
lulus. Justru yang jadi pikirannya adalah bagaimana ia harus memulai untuk menyatakan
mimpinya menjadi masinis.
Sesampainya di rumah, ia menyiapkan mental
untuk mengungkapkan keinginannya ini. “Bu, mungkin ibu tahu mengenai kegemaran
ku yang amat sangat terhadap kereta api. Dan begitupun ayah yang dahulu
sepertiku lalu menjadi seorang masinis.” Ucapnya dengan nada perlahan.
“A....a....apa maksudmu?” Jawab ibu Lia terbata-bata. Mungkin ibunya pun sudah
tau maksud dari Lia. “Aku akan menjadi msinis seperti ayah.” Lanjut nya dengan
tegas. Ibunya pun terkejut mendengar pernyataan tersebut dan langsung menjawab
“Sadarlah nak, kau adalah putri semata wayang ku, dan aku tak ingin kehilangan
mu dalam tugas yang seberat itu. Ibu masih belum dapat melupakan peristiwa ayah
mu nak.” Jawab ibunya sambil meneteskan air mata.
“Bu, yang sudah berlalu biarlah
berlalu, aku pun masih belum dapat melupakan peristiwa ayah, tetapi bukan juga
aku harus selalu terlarut dalam perasaan itu. Mungkin ini panggilan jiwa ku.
Mungkin bila aku berhasil, ayah akan bangga kepadaku. Tak akan ada beban bila
nanti aku menjalani tugas tersebut dengan sepenuh hati.” Terang Lia. Ibunya
menjawab “Taat lah engkau kepada ibu mu nak, ibu tak ingin kehilangan orang yang
ibu cintai untuk kedua kalinya.” Dengan penuh kesungguhan Lia menjawab, “
Dukung aku bu, jangan hancurkan semangat ku seperti itu, kita memang boleh
bersedih tapi... tolong bu... jangan terus menerus terlarut dalam suasana, kita
tidak akan bisa menata ulang kehidupan bu. Aku akan menjadi masinis wanita
pertama.” Lalu ibunya berkata “Baiklah Lia bila itu niat baik dari diri mu, kau
memang wanita yang tangguh. Semoga itu dapat menjadi modal untuk menggapai
keinginan mu.”
Impian Lia untuk menjadi seorang
masinis terbayarkan, ini adalah tahun ke 2 sesudah penandatanganan kontrak
kerja nya sebagai masinis, begitu pula Galang ia pun berhasil menjadi seorang
masinis. Meski pada awalnya Lia tak mengira Galang juga punya mimpi akan
menjadi seorang masinis. Lia ditempatkan diluar Jakarta tepatnya di Cirebon dan
Galang ditempatkan di Jakarta sebagai masinis komuter. Otomatis ibu Lia tinggal
seorang diri di Jakarta, beliau hanya dapat berkomunikasi dengan Lia lewat
telepon.
Sudah 3 tahun Lia tak dapat kembali
ke Jakarta, maklum saja jatah cuti yang ia dapatkan tak seberapa dengan masa
dinas nya dan biasanya hanya ia habiskan di mess.
Suatu sore disaat Lia sedang tidak berdinas, seperti biasanya ia menyempatkan
untuk menghubungi ibunya. “Assalamualaikum... Halo ibu, bagaimana kabar ibu? Lia
baik-baik saja disini. Aku rindu denan ibu, selesai masa angkutan lebaran nanti
aku akan mengunjungi ibu” Mendengar suara Lia diseberang sana ibunya pun
menjawab “Waalaikumsalam Lia, Alhamdullilah Ibu juga baik-baik saja nak. Wah
benarkah? Ibu senang sekali mendengar berita tersebut, ibu dan Galang akan menyambut
mu disini.” Percakapan tersebut berlanjut hingga Lia dipanggil untuk melakukan
tugas di dipo. “Baiklah ibu, Lia ada tugas di dipo, tunggu Lia di Jakarta ya
bu, aku akan selalu menanti hari itu.”
Ibunya menjawab “Baiklah nak, hati-hati, jaga diri baik-baik disana.”
...
Hari itu, tepat dimana hari yang ibu dan Lia tunggu,
disebuah pemukiman dekat rel kereta api, terdapat banyak kerumunan orang
berbaju serba hitam, melihat sosok Galang yang menunjukan raut wajah tak
bahagia dan didalam rumah terdapat sebuah peti mayit, didalamnya terdapat orang
yang tak asing bagi Lia, sosok yang selalu mendukung Lia disegala hal, orang
yang pernah melarang Lia menjadi masinis dan orang yang merindukan kedatangan Lia
selama 3 tahun dari dinas nya diluar kota. Iya.... Ibu Lia menjadi korban
bersama puluhan penumpang lain dalam peristiwa tabrakan KRL di daerah Bintaro.
KRL yang ditumpangi ibu menabrak truk tangki pembawa bahan bakar minyak.
Setelah kejadian tersebut terjadi Galang dan keluarga Lia mencoba menghubungi Lia
yang ternyata masih dalam ikatan dinas membawa kereta ke Semarang, ia baru
pulang pagi ini.
Tak ada cerminan kesedihan dari wajah Lia, hanya wajah
pucat dan pandangan kosong yang memandangi jenazah ibunya yang terbujur kaku di
dalam peti. Dalam penglihatannya, ia
melihat seutas senyum kepuasan terlempar dari bibir ibu nya, tanda bahwa ibunya
bangga memiliki putri semata wayang yang ia besarkan tanpa sosok ayah karena
sang ayah wafat dalam tugasnya tetap dapat menjadi wanita yang berani dan
berhasil membuktikan kepada ibunya bahwa Lia dapat menjadi seorang masinis
seperti ayahnya yang sebelumnya ibu Lia ragu ia akan kehilangan putri nya pada
tugas tersebut.
Malam harinya, Lia harus kembali
lagi ke tempat tugasnya di Cirebon karena paginya harus kembali berdinas ke
Semarang. Memang wanita yang tegar ujar Galang dalam hati. Lia tidak mau terus
terlarut dalam kesedihan, sama seperti disaat meniggalnya sang ayah. Dan Lia
bertekad akan terus membanggakan kedua orang tua nya lewat pekerjaannya sebagai
masinis.
0 komentar