11. EKLESIA MICHELLE IRENE - SAHABAT TERBAIKKU
04.50
Pagi
hari datang menyambutku. Tetapi, mataku masih saja terasa berat. Sayup-sayup,
kudengar suara teriakan mamaku “ Brendaa, banguun... Kamu lupa, hari ini kan
hari pertama kamu ke sekolah, nak. Ayo bangun. Mama sudah siapin sarapan untuk
kamu.” Seru mama. Astaga! Aku lupa kalau hari ini hari pertama Masa Orientasi
Siswa.
Gawat, kalau terlambat aku bisa dihukum senior. Sial!! Cepat-cepat aku berlari menuju pintu kamar mandi dikamarku, menghamburkan air dan sabun secara membabibuta lalu menyambar seragam sekolahku yang tergantung di pintu kamar mandiku dan mengenakannya secara terburu-buru. Namaku adalah Ruth Brenda. Orang-orang biasa memanggilku Brenda. Hari ini adalah hari pertamaku memasuki sekolah baruku, yaitu SMA Persada Internasional. “ Brendaaa, mau sampai jam berapa kamu dandannya? ” teriakkan mama menyadarkanku kembali ke dunia nyata. “ Iya, mam. Aku turun sekarang.” balas ku. Segera kusambar tas dan perlengkapan yang telah kusiapkan untuk dibawa ke sekolah. Cepat-cepat aku mengambil langkah seribu untuk menuruni tangga.
Gawat, kalau terlambat aku bisa dihukum senior. Sial!! Cepat-cepat aku berlari menuju pintu kamar mandi dikamarku, menghamburkan air dan sabun secara membabibuta lalu menyambar seragam sekolahku yang tergantung di pintu kamar mandiku dan mengenakannya secara terburu-buru. Namaku adalah Ruth Brenda. Orang-orang biasa memanggilku Brenda. Hari ini adalah hari pertamaku memasuki sekolah baruku, yaitu SMA Persada Internasional. “ Brendaaa, mau sampai jam berapa kamu dandannya? ” teriakkan mama menyadarkanku kembali ke dunia nyata. “ Iya, mam. Aku turun sekarang.” balas ku. Segera kusambar tas dan perlengkapan yang telah kusiapkan untuk dibawa ke sekolah. Cepat-cepat aku mengambil langkah seribu untuk menuruni tangga.
Aku
mengambil roti isi yang telah disiapkan
mama untukku dan langsung berpamitan pada mama. “ Ma, Brenda berangkat sekolah
dulu ya ma...” “Iya nak, hati-hati ya. Jaga dirimu baik-baik.” “Siap ma. Ayo
pak, kita berangkat.” jawabku sekaligus
mengingatkan supirku. “Siap non.” Segera saja aku masuk ke dalam mobil.
Sepanjang jalan, aku memikirkan betapa menyenangkannya menjadi siswi SMA nanti.
“ Aduh, ga sabar banget nih pengen sampe ke sekolah” gumamku dalam hati. Tak
terasa, aku pun sampai di sekolah. Dengan semangat aku keluar dari mobil
berjalan menuju gerbang sekolah. Oh tidah, gerbang sekolah telah ditutup. Aduh
gawat nih. Apa yang harus aku lakukan?
Supirku pun sudah lama pergi dengan mobilku. Aduh gimana nih...tiba –tiba aku
melihat anak seumuranku yang terlihat sama paniknya denganku. “ Hey, kamu juga
terlambat hari ini?” “Iya, kebetulan sekali yaa. Perkenalkan, namaku Brenda.
Siaapa nama mu?” seruku ceria. Anak yang ada di depan ku sekarang terlihat
sangat kaku, pendiam dan kesepian. “ Eh...m-m-m, nama ku Millata, tapi kamu
bisa panggil aku Milla.” “ Oke. Hai Milla, salam kenal. “ Ngomong-ngomong bagaimana dengan nasib kita, gerbang sekolah
sudah di tutup dan kita ga bisa masuk.” Tanyaku kepada Milla. “Tenang saja,
tadi kata pak satpam, nanti kita akan dibukakan pintu. Tapi setelah apel
selesai.” Sahut milla. “Oke lah, kalau memang begitu.” sahutku. Lama kelamaan,
aku dan Milla ngobrol panjang lebar dan kita menjadi akrab. Aku dan Milla
memiliki banyak kesamaan hobi. Kami sama-sama senang membaca novel,
mendengarkan lagu, dan makanan kesukaan kami pun sama.
Setelah kami dan beberapa siswa
lainnya yang terlambat masuk, kami diberi beberapa hukuman seperti seri ataupun
melakukan perintah aneh yang diberikan oleh senior kami. Tapi semua itu tak
terasa ketika aku bersama Milla. Akhirnya, seminggu MOS dapat kami lewati
dengan baik. Kini tiba saatnya pembagian kelas. Aku sangat berharap, jika nanti
aku bisa satu kelas dengan Milla. “Bren, ayo kita lihat pengumuman kelas yuk?”
ajak Milla. “Ayo!” seru ku. Kami menelusuri daftar nama-nama siswa-siswi
beserta kelasnya. “ Hey, lihat ini!” seru ku.” Ada apa bren? Apa namamu sudah
ketemu?” tanya Milla. “ Iya Mil, bahkan namamu juga dapat aku temukan di kelas
ini.” jawabku. “Apa berarti kita sekelas bren? Waaah... Senangnyaaa!” seru
Milla dengan senyum diwajahnya. Kami pun akhirnya saling berpelukan. Akhirnya
doa ku terkabul. Thanks God.
Tidak
terasa hampir setahun berlalu. Kelas sepuluh kami lalui bersama-sama. Makin
lama, persahabatanku dan Milla bertambah akrab. Di kelas, kami selalu bersama.
Tapi, kami juga berteman dengan yang lainnya. Di kelas, kami dijuluki teman
sebangku yang paling kompak. Jika ada hari libur, kami mengadakan acara
menginap di salah satu rumah kami. Kata orang, kami itu ibarat kakak beradik,
dimanapun ada Brenda disitu pula ada Milla. Tetapi, kebersamaan kami pun mulai
berkurang karena di kelas sebelas, kelas kami pisah. “ Tenang saja Milla, kita
akan tetap berteman kok. Nanti, setiap istirahat aku akan main ke kelas kamu.
Gimana? Setuju ga? Jangan sedih Mil, kita tetap bersahabat kok.” Seruku ketika
melihat Milla murung karena melihat papan pengumuman. “Tapi janji ya jangan
pernah tinggalin aku?” ujar Milla. “Aku janji” sahutku.
Kelas
sebelas ini aku lewati dengan riang. Di kelas, aku termasuk anak yang
berprestasi, memiliki banyak teman dan aktif dalam pelajaran. Semua guru
mengenalku karena keaktifanku disetiap mata pelajaran. Tapi, tidak halnya
dengan Milla. Setiap kali aku berkunjung ke kelasnya, aku selalu mendapati
dirinya sedang termenung. Tidak ada lagi binar-binar pada kedua bola matanya
yang indah itu. Tetapi, dia tidak menunjukkannya padaku. Ketika Milla menyadari
keberadaan ku, mukanya berubah ceria seperti Milla yang dulu ku kenal. Tapi
terkadang, ketika aku sedang bercerita, Milla suka melamun dan akhirnya tidak
menyimak apa yang aku bicarakan. Ada yang salah pada Milla! Aku harus
menyelidikinya. Sehabis pulang sekolah, aku bertemu temanku dari kelas yang
sama dengan Milla. “ Benar bren, Milla itu berubah banget semenjak kita kelas
11. Dia tidak seriang yang aku ingat dulu. Mungkin karena dia tidak punya teman
akrab seperti kamu.” jawab Ruth ketika aku bertanya tentang keaadaan Milla di
kelas. Aku tersentak mendengar jawaban dari Ruth. “Apa benar, semua ini karena
aku?” tanyaku dalam hati.
Keesokkan
harinya, aku kembali melakukan kegiatan rutinku di sekolah. Rencananya, hari
ini aku ingin mengajak Milla jalan-jalan untuk mengatasi kejenuhan kami di sekolah.
Pada waktu istirahat, dengan semangat aku berlari ke arah kelas Milla. “ Hai
Ruth, kok Millan ga ada di kelas?
Biasanya dia ada di kelas. Apa Milla ke kantin. Kok tumben baget ga nungguin
aku?” Ruth terlihat kaget mendengar pertanyaan ku. “ Ada apa Ruth, kok
kelihatannya kaget banget denger pertanyaan ku. Kan aku emang biasa bareng
Milla kalau sedang istirahat.” “ Milla pindah, Bren. Masa kamu gak tau. Kamu
kan sahabatnya. Dia pindah ke Singapura, karena ayahnya ditugaskan untuk
menangani perusahaan di Singapura. Mungkin itu penyebab selama ini Milla murung
terus.” jelas Ruth. Begaikan disambar petir ditengah siang bolong. Penjelasan
Ruth bagaikan menusuk jantung ku secara bertubi-tubi. Mataku tiba-tiba terasa
perih. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis di depan Ruth. Dengan
segera, aku berlari secepat yang aku bisa. Hatiku terasa hancur mendengar semua
penjelasan Ruth. Sepanjang sisa waktu belajarku di sekolah, aku tidak bisa
berkonsentrasi lagi terhadap apa yang guru sampaikan di kelas. Ketika tiba
waktu pulang, aku berlari menuju mobilku dan meminta supirku untuk
mengantarkanku ke rumah Milla. Tanpa perlu waktu lama, supirku membawa mobil
kami ke depan pintu gerbang rumah Milla. “ Sudah sampai non.” ujar supirku. “
Oh, iya pak. Bapak tunggu disini sebentar ya pak.” sahutku. Aku langsung
membuka pintu mobilku dan berlari ke arah pintu gerbang Milla. “ Millaaa,
Millaa, ini aku Brenda Mil. Kita jalan-jalan yuk.” teriakku. Aku masih
beerharap kalau semua penjelasan Ruth hanyalah omong kosong. Berkali-kali aku
berteriak memanggil nama Milla, tetapi usahaku tidak membuahkan hasil.
Tiba-tiba, seorang ibu muda menghampiri ku. Ibu muda itu adalah tetangga Milla,
aku cukup sering bertemu dengannya karena aku sering menginap di rumah Milla. “
Milla sekeluarga sudah berangkat tadi pagi. Mereka terlihat sangat buru-buru.”
jelas ibu muda itu. Seluruh tubuhku kembali lemas mendengar penjelasannya. Saat
aku ingin berlari kembali menuju mobil, ibu tersebut menghentikanku. “ Ini, ada
surat titipan dari Milla. Dia bilang, tolong sampaikan pada nak Brenda.”. “
Terima kasih, tante.” ujarku sambil menahan air mata yang hampir tumpah di
ujung mataku. Saat itu juga, aku berlari menuju mobil sambil menahan isak
tangisku. “ Ke rumah ya, pak” seruku ketika sampai di mobil. Pak supirku
seaakan mengerti dengan suasana hatiku yang sedang kacau. Ia memilih tak
berbicara banyak, seaakan memberikan ruang bagiku untuk menenangkan diri.
Sesampainya di rumah, aku berlari ke kamar dan membaca surat dari Milla.
Dear
Brenda,
Maaf. Itulah kata pertama yang
ingin sekali aku ucapkan dari hatiku yang paling dalam. Maaf. Hanya itulah yang
dapat kutuliskan dalam surat ini. Aku minta maaf atas kepergianku yang sangat
mendadak ini. Aku sendiri juga sangat syok, menerima keputusan kedua orang
tuaku. Aku tak sanggup untuk memberitahukan hal ini secara langsung kepada
kamu, Bren. Maafkan aku. Aku juga tak tahu sampai kapan aku di Singapura dan
kapan aku kembali. Orang tua ku belum bisa memastikannya. Maafkan aku, Brenda.
Aku harap suatu saat, kita akan bertemu kembali. Sekali lagi, aku minta maaf
dari dalam hatiku.
Milla
Aku menangis tersedu-sedu membaca apa yang ditulis oleh
Milla. Aku tak sanggup lagi dan, tanpa sadar pun aku tertidur. Sinar mentari
pagi yang hangat akhirnya menyambutku. Rasanya lelah sekali. Dengan langkah
gontai, aku berjalan menuju kamar mandi untuk siap-siap berangkat ke sekolah.
Rasanya aku tidak punya semangat ataupun keinginan untuk berangkat ke sekolah.
“Ada apa Bren? Kok kamu lesu begitu. Soal kepergian Milla, jangan terlalu
dipikirkan. Orang tua Milla pasti tau yang terbaik buat dia. Lagipula kamu kan
punya banyak teman. Ayo anak mama yang cantik, semangat dong. Nanti kalau
cemberut terus, mukanya jadi jelek loh.” ujar mamaku panjang lebar.
Tetap saja di sekolah aku tidak punya semangat. Selama
semester ini nilaiku pun menurun. Banyak teman-teman yang mencoba menghiburku,
tetapi tetap saja aku tidak merasa lebih baik. Yang aku butuhkan sekarang
hanyalah Milla dan semuanya akan baik-baik saja. Semua teman-teman di kelasku
sudah mulai menyerah untuk menghiburku. Tapi masih ada satu orang yang tetap
mengajariku, menghiburku dan menemaniku ketika aku sendirian. Dia bernama Raka.
Dialah yang selalu menemaniku ketika aku sendiri. Dialah yang selalu ada untukku.
Dia selalu membicarakan cerita-cerita yang lucu, yang mengundang gelak tawa ku
dan yang membangkitkan diriku kembali. Dan hasilnya, nilai-nilai ku pun naik
kembali dan semangatku yang sempat pudar, berhasil dia kembalikan. Aku dan Raka
pun berhasil mencapi nilai yang sangat
memuaskan ketika kenaikkan kelas kami. Dan untungnya dikelas 12, aku dan Raka
tidak dipisah kan. Singkat cerita, aku dan Raka pun berhasil meraih nilai rapot
yang bagus dan mendapatkan PTN yang kami idam-idamkan. Aku berhasil mengambil
kedokteran di Universitas Indonesia dan Raka melanjutkan kuliah di Universitas
Indonesia dengan jurusan tehhnik. Kehidupan perkuliahan kami berlangsung
seperti masa-masa SMA kami. Saling membantu ketika kesulitan mengerjakan tugas,
belajar bersama dan hang out ketika sedang bosan.
Semua berlangsung
lancar, sampai saat itu tiba.
Setelah kelas usai, aku langsung bergegas menuju ke kelas
Raka. Seperti biasa, kami akan belajar bersama di perpustakaan. Ketika aku
hampir sampai ke kelas Raka, aku melihat dia.
Iya, dia. Dia, yang telah meninggalkanku dimasa lalu. Dia yang mengecewakanku
dimasa lalu. Dia, yang sempat membuatku terpuruk. Ya, dia itu Milla. Mantan
sahabatku dimasa lalu. Orang yang dulu paling aku sayangi. Orang yang dulu
selalu ada untukku. Ingin rasanya aku berlari dan langsung memeluknya. Tapi,
rasa benci yang ada dalam hati menghalangiku untuk melakukan hal yang sangat
dari dulu inginku lakukan.
Ternyata,
Raka menyadari kehadiranku. “Hei, Brenda. Kesini, biar aku kenalin sama Milla.
Dia temanku waktu kecil.” Aku bergulat dalam hatiku. Apa yang harus aku lakukan
sekarang? Ah, sudah terlambat. Mereka sudah menuju kesini. Sekilas, aku melihat
raut wajah Milla yang terlihat kebingungan sekaligus kaget. “ Hei, Bren. Masih
ingat aku?” sapanya. Gerakan tubuhnya terlihat kaku, agak kikuk dan Milla
terlihat memendam rasa bersalah sekaligus malu. “ Milla kan?” jawabku dingin.
“Oh, ternyata kalian sudah kenal ya?” tanya Raka. “ Kita jadi belajar bareng ga
sih? Kalau ga jadi, gue bisa belajar sendiri dari tadi!” jawabku sewot. “Iya,
jadi Bren. Jangan marah gitu lah. Gue juga baru ketemu temen kecil gue kali,
jadi lupa waktu deh. Jangan marah ya, Bren?” “Iya, gue ga marah.” “Kita ajak
Milla ya?” tanya Raka. Saat itu juga, ku tinggalkan mereka berdua dan langsung
bergegas menuju perpustakaan. “Kok langsung pergi sih? Kasihan Milla sendiri.”
Kudengar langkah Raka menyusulku. “ Ya udah, kalian belajar aja berdua. Gue ga
bisa konsentrasi kalau rame-rame.” Sahutku, berjalan meninggalkan Raka.
Lambat
laun, Raka sudah mengerti kenapa aku tidak ingin berdekatan dengan Milla. “Iya,
Milla udah cerita semua sama gue. Sekarang gue udah ngerti kenapa sikap lo
berubah banget kalau ketemu Milla.” ujar Raka. “ Bagus deh kalau lo udah
ngerti. Jadi jangan paksa gue buat deket deket sama Milla lagi. Ngerti?” “Iya,
non.” Jawab Raka. Tapi, aku merasa Raka malah berusaha mendekatkan aku dengan
Milla lagi. Milla pun juga melancarkan aksi pendekatannya pada ku. Mulai dari
membawakan makanan untukku, menyapaku ketika bertemu, dan menawarkan untuk
mengantarkan ku pulang. Hampir semua ajakkannya aku tolak. Padahal, aku sangat
ingin menerima semua yang Milla tawarkan padaku. “Bukan karena rasa dendamku
pada Milla dimasa lalu. Bukan, bukan itu. Melainkan, karena aku takut hal itu
terulang lagi. Aku takut kalau-kalau dia meninggalkan ku lagi. Jadi lebih baik
aku jauh dari Milla untuk persiapan kalau-kalau dia ingin pergi lagi. Jadikan
aku ga akan terpuruk seperti dulu lagi” gumamku dalam hati.
Suatu
sore, aku sedang menikmati secangkir minuman dingin dan sepotong Blueberry
Chesee Cake di cafe tempat biasa aku melepas penat sehabis kuliah. Ya, sambil
menikmati snack sore aku juga senang melihat ke luar jendela cafe, menikmati
hiruk-pikuk perkotaan yang kala itu tidak terlalu padat. Tiba-tiba, aku melihat
diseberang jalan sana, Milla dan Raka sedang terburu-buru menuju cafe tempatku
bersantai. “Gawat, pasti Raka ingin Milla tau tempat favoritku. Aku harus
sembunyi.” pikirku. Baru saja aku ingin beranjak dari tempat dudukku, tiba-tiba
terdengar suara benturan dan teriakkan yang berasal dari luar. Kulihat, Raka
dan orang-orang lain terkejut dan panik. Ternyata, karena tidak sabar, Milla
tidak awas mata ketika menyebrang. Milla tertabrak oleh sebuah mobil! Kini
tubuhnya terkapar dijalan, bersimbah darah.
“ Astaga!” teriakku dalam hati. Aku segera
berlari keluar dari cafe dan melihat tubuh Milla secara langsung. “Raka, cepat
telepon ambulans!” bentakku. Aku sangat khawatir. “Jangan ambil dia sekarang
Tuhan, kami baru saja bertemu kembali.” seruku
dalam hati. “Sudah ku telepon, Brenda.” jawab Raka. Seketika itu juga aku
langsung menangis didepan tubuh Milla. “ Bertahanlah Mill. Sebentar lagi mereka
akan datang.” ucapku. Pada saat itu juga, para medis datang dan membawa Milla.
Aku dan Raka juga ikut masuk kedalam ambulans. Aku menangis sambil menggenggam
erat tangan Milla. Raka berusaha menenangkanku. “ Milla, bertahanlah. Jangan
tinggaklan aku lagi. Aku mohon Mil.” seruku. “Iya, bren... aku.. akan..
bertahan... untuk...mu.” jawab Milla,lirih. Kami pun tiba dirumah sakit. Milla
langsung dibawa ke UGD. Suster meminta kami menyelesaikan administrasi, setelah
itu kami menunggu di depan pintu ruang UGD. Tiba-tiba, suster keluar dari ruang
UGD. “Bagaimana keaadaan Milla sus?” tanyaku. “ Dia kekurangan banyak darah.
Kami memerlukan darah dengan golongan AB. Apakah bapak atau ibu ada yang
mempunyai golongan darah yang sama?” tanya suster tersebut. “ Saya, sus. Itu
adalah golongan darah saya. Ambil darah saya sekarang sus.” seruku histeris. “
Baiklah, mari ikut saya, bu.”
Perlahan,
kulihat mata indahnya terbuka kembali. Walaupun kondisiku sama lemahnya dengan
Milla, aku mencoba tersenyum. “ Hai Milla, kamu sudah sadar? Bagaimana perasaan
mu sekarang? Apa sudah baikkan?” tanyaku. Dengan susah payah, Milla berupaya
untuk duduk. Aku membantunya, dan saat itu juga Milla memelukku. Aku tertegun.
Sudah lama sekali aku tidak merasakan hangatnya pelukkan Milla. Tanganku
bergerak dengan sendirinya, ikut mempererat pelukan kami. “ Maafin aku Brenda.
Aku yang salah. Aku ga pernah sekalipun ngasih kamu kabar. Aku terlalu egois.
Maafin aku bren.” ujar Milla. “ Enggak Milla, ini semua salah aku. Aku terlalu
gengsi untuk menerima kamu kembali, Mill. Maafin aku kalau aku sangat egois.
Aku takut kalau kamu akan ninggalin aku lagi, Mill.” ucapku berterusterang. “
Udah-udah, jangan main salah salahan. Yang penting, sekarang kalian udah saling
koreksi diri. Jadi sekarang, kalian bersahabat lagi kan?” tanya Raka. “Iya
lah.” Jawabku dan Milla berbarengan. Akhirnya, hari ini berakhir dengan
bahagia. Aku dan Milla kembali berpelukkan melepas rasa rindu yang selama ini
kami pendam. “ Boleh ikutan ga?” celetuk Raka. “ Yeee, maunya aja.” ujarku. “Ga
boleh, siapa suruh cowok sendiri...” timpal Milla. Kami pun tertawa bersama.
Hari ini, terasa sangat menyenangkan. “ Terima kasih ya Tuhan telah
mempersatukan kami kembali.” ucapku dalam hati. Semoga persahabatan kami tetap
abadi untuk selama-lamanya.
0 komentar