28. SEKAR AYU RENINGTYAS - MENGHAPUS MEMORI
02.20Sore itu, jam tepat menunjukkan pukul 4.45. Namun Aku dan teman-teman masih saja tertawa terbahak-bahak di meja kantin, walaupun mangkok-mangkok mie yang ada di meja berwarna oranye terang itu sudah kosong, sepertinya belum ada niatan bagi kami berlima untuk pulang, biarpun wajah sudah kumal karena debu dan baju kami yang kusut tak karuan.
Padahal jika tidak segera pulang, aku bakalan keteteran mengerjakan tugas-tugas yang semakin hari semakin menggunung, tidak ada habisnya. “Gue masih inget ekspresinya dia, kocak banget. Belepotan spidol.” Sahut Zhaqy sambil tertawa-tawa mengingat gambaran kejadian sabtu minggu lalu. Teman-temanku yang lain juga ikut tertawa sambil memukul-mukul meja, bahkan ibu-ibu kantin sampai melirik ke arah meja kami ketika mendengar suara meja dan piring yang bertabrakan karena pukulan tangan kami. Kami memasang ekspresi wajah bersalah kepada ibu pemilik warung tersebut, sebelum kembali tertawa-tawa kecil.
“Udah jangan dibahas terus, nanti kuping dia panas emang lo mau tanggung jawab zhaq?” candaku. “Yaudahlah biarin kupingnya kebakar. Palingan nanti dia minta tiupin.” Balas salah satu temanku yang bertubuh bulat layaknya Doraemon. Ohiya, Aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Indri, sekarang aku menginjak kelas 11 SMA di SMA Garuda. Teman-temanku ini? Mereka teman sekelasku. Kami memang sering menghabiskan waktu bersama di kantin, mulai dari makan, ngobrol, hingga mengerjakan tugas dan membahas pekerjaan rumah dan tugas-tugas kami bersama di sini. Tak jarang kami baru minggat dari tempat tersebut ketika langit tak lagi berwarna biru, dan sepertinya itu akan terjadi lagi hari ini.
Memang, kami belum berteman lama, hanya saling mengenal nama satu sama lain dari berita simpang-siur tiap hari yang sering dibicarakan teman sekelasku saat aku masih kelas 10 SMA, dan sekarang kami sekelas. Kecuali Zhaqy, lelaki berbadan bulat seperti Doraemon itu sudah menjadi temanku dari SMP, jadi aku mengenal-nya lebih dulu dibanding yang lain. Sedangkan empat temanku yang lain, Arini, Brenda dan Yeremia, aku baru saja mengenal mereka saat aku naik ke kelas 11.
“Eh... Gue balik duluan ya, udah ditungguin Fathi.” Sahut Arini tiba-tiba, kami berempat hanya menunjukkan wajah kecewa. “Hehehe... Udah lo semua balik aja juga! Gak bosen apa mejeng mulu disini?” Ejek perempuan berkawat gigi tersebut. Menyetujui perkataan Arini, kami semua akhirnya bersiap-siap untuk pulang, sambil membereskan barang-barangku yang tercecer diatas meja oranye panjang itu, aku baru menyadari kalau sepertinya aku meninggalkan earphone-ku yang tadi asal-asalan kusimpan dilaci mejaku.
“Gak ada yang mau nemenin gue balik ke kelas? Earphone gue ketinggalan dikelas nih... Nanti kalo gak gue ambil ilang lagi.” Rengekku dengan suara pelan, mengharapkan iba dari para teman-temanku. Namun apa daya, jawaban yang aku dapat tidak sesuai dengan ekspektasi. Yere dan Zhaqy menggelengkan kepala mereka, sedangkan Arini sudah menghilang dari pandangan. “Gak ah, Males. Tangga disitu kan pasti udah dikunci, terus tangga yang gak ada kuncinya jauh banget.” Tukas Brenda. Pasrah, aku segera menyambar tasku dan segera berlari kecil keluar dari kantin, sambil menengok kebelakang, aku melambaikan tanganku kepada mereka. “Yaudah kalo gitu, hati-hati ya kalian.”
Setelah mendapat-kan balasan dari mereka, aku kembali melihat kedepan dan menambah kecepatan kakiku. Tas yang tidak ringan dan perut yang baru saja terisi, menghambat tubuhku untuk bergerak lebih cepat. Sekeluarnya aku dari kantin, aku segera berjalan ke gedung untuk murid kelas 12, satu-satunya yang mempunyai tangga yang tidak berpagar, tidak dikunci pula. Sebenarnya, sekolahku hanya memiliki satu gedung yang membentuk huruf U, hanya saja untuk setiap kelas, gedung sekolahku dibagi menjadi tiga seksi. Gedung sebelah kanan untuk murid kelas 12, sebelah kiri untuk murid kelas 10 sedangkan gedung yang berada ditengah untuk murid kelas 11. Setelah menaiki tangga, aku kembali berlari kecil untuk sampai ke kelasku.
Setelah bersyukur pintu kelasku yang rusak belum dibetuli, yang memungkinkan aku untuk masuk kedalam dan mengobrak-abrik isi laciku yang berantakan berisikan buku-buku yang sengaja aku tinggal disekolah, setelah menemukan barang kesayanganku, aku segera membersihkannya dan mulai membetuli talinya yang kusut, sebelum menggulungnya dengan rapi. Aku keluar dari dalam kelasku setelah kembali merapikan mejaku yang agak berantakan. Sembari memainkan kunci motor yang baru saja aku keluarkan, aku berjalan pelan sambil menyanyikan lagu yang akhir-akhir ini sering aku dengarkan.
Kebiasaanku tiap berjalan adalah jarang menatap lurus kedepan, mataku selalu saja memandangi aspal atau lantai yang bergesekan dengan sepatuku, namun kali ini, aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja aku mendongakkan kepalaku secara percaya diri, dan aku-pun melihat pemandangan yang selama ini selalu aku hindari selama 8 bulan.
Aku melihat Farrell sedang merangkul mantan teman terbaikku, Faya.
Aku sempat menangkap ekspresi kedua insan dihadapanku sebelum aku mempercepat langkahku. Wajah sumringah milik Faya mendadak pudar, tergantikan oleh ekspresi dingin yang selalu ia miliki jika ia tidak tersenyum. Sedangkan wajah Farrell masih sama, namun hanya saja lengannya melepaskan rangkulan yang tadi melingkar dipundak mungil Faya. Aku segera berjalan menuruni tangga, sesekali aku memejamkan mataku untuk menghilangkan potongan gambar-gambar yang terus-menerus muncul dibenakku. Aku semakin mempercepat langkahku, berusaha untuk pergi dari tempat itu secepatnya.
***
“Fay.. Lo tau Farrell kan? Yang anak Basket?” Tanyaku kepada Faya, yang masih sibuk dengan PR Sejarahnya. Kemudian aku mendapat anggukan dari Faya sebagai respon darinya. “Iya. Dia kenapa?” Balas perempuan berambut ikal tersebut. Dengan ragu-ragu, aku menjawab pertanyaannya. “Dia... Dia manis ya.” Jawabku, aku langsung pura-pura berkutat dengan tugas Biologiku yang padahal sedari tadi sudah aku selesaikan. Faya yang mendengarkan ucapanku langsung berhenti menulis dan meletakkan pulpennya.
“Lo mabok ya?” Aku hanya tertawa dan menggeleng. “Gak lah, yakali. Tapi bener manis kan, ngaku lo.” Candaku, Faya hanya memberikanku tatapan jijik. “Nggak lah. Gaada manis-manisnya sama sekali, Ndri, Please deh. Lumayan sih, tapi bukan tipe gue banget. Kenapa lo sukanya sama yang aneh begitu sih?” Jawab Faya ketika aku sedang sibuk merapikan barang-barangku, kemudian aku menyahut. “Dia gak aneh, faaaay. Dia keren tau.” Faya hanya menggelengkan kepalanya. “Engga, Ndri. Engga sama sekali, masih banyak yang lebih keren dan normal, kenapa lo pilih dia? Kadang gue gak ngerti sama Selera lo...”
~
“Ndri, Farrell lagi main basket tuh.” Tukas sahabatku, Aku sedang sibuk membalas beberapa pesan yang ada di handphoneku ketika Faya berkata begitu. Pandanganku langsung teralihkan, dari layar handphone-ku ke lapangan basket yang ada ditengah-tengah gedung sekolah-ku. “Tuh lo liat deh.. badannya mirip sedotan ale-ale gitu.” Jawab Faya sambil tertawa, setelah kuamati lebih dalam, badan Farrell yang kurus dan tinggi memang kadang tampak seperti sedotan yang memiliki kaki dan tangan, bahkan bisa bergerak. Aku tertawa setelah menyadari perkataan gadis berkulit coklat yang ada disampingku. “Iya sih. Tapi masih tetep keren kok.” Balasku, Faya hanya diam, kali ini dia tidak memberikanku respon apa-apa, dia hanya terdiam disana, tatapannya kosong, dan wajah dinginnya kembali ia pasang.
~
Sore itu, aku berlari dikoridor sekolah yang mulai sepi. Aku menyusul Faya yang katanya masih berada dikelasnya, namun langkahku terhenti ketika aku menabrak seseorang bertubuh jangkung dan kurus. “Eits, sorry- Eh, Indri. Kenapa kok buru-buru banget?” Ujar lelaki dihadapanku yang bukan lain adalah Farrell. “H-hah? Ngga kenapa-napa kok! Lagi nyariin orang aja.” Jawabku kikuk. Aku buru-buru berjalan melewatinya, sebelum aku berjalan jauh, aku mendengar suaranya yang berat. “Nyariin Faya ya? Ada di dalem kelasnya tuh, sendirian.” Aku hanya mengangguk sembari mengucapkan terima kasih dengan pelan, dari kejauhan aku melihat Faya sedang berdiri di depan kelas, tapi mendadak aku terpikirkan sesuatu. Bagaimana Farrell bisa tau Faya ada dimana?
~
Aku membuka botol minumku dan segera meneguk air itu sampai habis. Minggu itu, aku dan Faya berniatan untuk melakukan lari pagi di Stadion sekalian mencari sarapan sesudah berolahraga. Sambil berlari pelan, aku mulai mengoceh. “Kira-kira... Kita bakalan ketemu Farrell gak ya?” Tanyaku kepada perempuan disebelahku. “Kayaknya gak... Sejak kapan Farrell suka bangun pagi” Faya langsung menutup mulutnya, ia terlihat seperti seseorang yang baru saja mengucapkan sebuah kalimat rahasia. Aku ikut terdiam, terlarut dalam pikiranku sendiri. Bagaimana ia bisa tahu? Bukankah itu bukan suatu hal yang sepatutnya diketahui semua orang? Aku mencoba melupakan ocehan Faya, dan langsung mengganti topik.
“Sarapan bubur aja yuk.”
~
Tetesan air hujan yang tidak henti-hentinya berseteru dengan aspal yang kasar, aku terus berjalan pelan menelusuri koridor yang basah karena air hujan yang diam-diam membasahi ubin yang berwarna putih. Aku berniatan untuk menyusul Faya, aku ingin bercerita tentang kejadian menyebalkan yang baru saja aku alami di ruang ekstrakurikulerku. Langkahku kupercepat, dikarenakan hari yang semakin sore dan hujan yang tak menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti, aku mengingat permintaan Faya tadi siang untuk pulang bersama sore ini. Setelah sampai didepan kelasnya, belum sempat aku membuka pintu sepenuhnya, aku menemukan kedua suara yang terdengar familiar bagiku.
“Itu aja yang aku mau ucapin buat kamu. Happy Monthsarry yang ketiga ya, aku sayang sama kamu.”
“Iya, Rell. Aku sayang sama kamu juga.”
Sore itu, ketika hujan turun, untuk pertama kalinya, aku berharap semoga aku bisa menghilang dari dunia.
***
Pagi tadi, aku terbangun dengan demam yang lumayan tinggi dan hidung yang tersumbat. Memang sudah hampir 2 hari terakhir aku merasakan adanya gejala-gejala flu, ibu yang mudah panik bahkan hampir membuat janji dengan seorang dokter langganan. Tidurku semalam juga kurang nyenyak, ditambah lagi dengan beban pikiran tentang tugas yang tidak pernah pergi dari pikiranku. Semalam, aku kembali bermimpi tentang kejadian itu, kejadian di bulan Januari, kejadian yang selalu ingin aku hapus dari memoriku.
Aku menghabiskan sebagian hariku dengan berbaring malas-malasan, sebelum akhirnya memutuskan untuk menyicil sebagian dari tugas-tugasku. Kali itu, jam dinding bergambar beruang yang tergantung di dinding kamarku menunjukkan pukul 3 sore, sekolah sudah dibubarkan 15 menit yang lalu. Di depan televisi yang menyala, aku menyenderkan bahuku di lengan sofa, dengan posisi setengah tiduran dan laptop yang berada dipangkuanku, aku mulai mengerjakan tugas bahasa Inggris yang baru saja ditugaskan kemarin, sama sekali tidak memperhatikan drama picisan yang ditayangkan di televisi. Setengah jam kemudian, aku mendengar bell rumahku berbunyi. Dengan malas, aku memindahkan laptopku lalu bangkit dari sofa, memulai langkah gontaiku, aku berjalan menuju pintu dan menyempatkan diri untuk melihat siapa yang datang untuk bertamu.
Betapa terkejutnya aku ketika melihat Faya sedang berdiri dibalik pagar rumahku.
Aku segera membuang tissue yang dari tadi sengaja kusumbatkan kedalam hidungku, dengan ragu aku membuka pintu dan berjalan lebih lanjut untuk membukakan pagar rumahku untuk Faya. Aku hanya tersenyum canggung ketika mataku bertemu dengannya, dia membalas dengan senyum yang sama canggungnya. “Gapapa kan kalo gue main sebentar?” Ucap Faya, aku hanya mengangguk dan mempersilahkan Faya untuk masuk. Kenapa ia tiba-tiba datang seperti ini?
Seperti kebiasaannya dulu, Faya tidak pernah duduk di sofa yang berada di ruang tamu rumahku, ia selalu memilih untuk duduk bersila dilantai. Aku segera mematikan televisi dan laptop-ku yang sedari tadi masih menyala, untuk pertama kalinya dalam 8 bulan, aku bersama lagi dengan Faya di satu ruangan, namun dengan atmosfer yang berbeda. Aku memilih untuk duduk bersila di sofa.
“Kenapa tiba-tiba dateng?” tanyaku dengan nada datar. Sebelum ia bisa menjawab pertanyaanku yang pertama, pertanyaan lain keluar dari mulutku. “Dateng kesini dianterin Farrell?” timpalku dengan nada yang lebih sarkastik kali ini. Ekspresi Faya berubah, wajahnya terlihat sedikit pucat, dan kemudian ia mengangguk ragu, yang kuanggap sebagai jawaban pertanyaanku yang kedua. “Btw, Gue denger lo sakit ya?” Tanya Faya kepadaku, mengalihkan pembicaraan, aku mengangguk untuk yang kesekian kalinya. “Cuma flu, gak parah.” Jawabku singkat. Setelah itu, tidak ada satupun dari kami yang berbicara lagi, suara angin dari pendingin ruangan dikamarku adalah satu-satunya suara yang dapat kudengar.
“Gue dateng kesini buat minta maaf, Ndri.” Ucap Faya tiba-tiba, memecah keheningan. “Gitu doang?” balasku singkat. “Emangnya hal kayak gini gak buang-buang waktu lo Fay?” Ucapku lagi, emosi mulai meluap didalam diriku. “Gue pengen kita kayak dulu lagi, Ndri. Gue pengen kita temenan lagi.” Sahut Faya pelan, tak sedikitpun rasa simpati muncul dalam diriku. “Mending lo telfon Farrel biar lo ada yang jemput terus pulang, daripada lo buang-“ Belum selesai aku mengucapkan ocehanku, Faya memotongnya.
“Gue tau itu salah gue, Ndri. Gue cuma mau lo maafin gue, terus kita bisa temenan lagi kayak dulu..” Aku hanya diam, setelah lebih dari setengah tahun, tiba-tiba dia muncul di depan rumahku dan meminta maaf? Lucu sekali. “Gue udah maafin lo berbulan-bulan yang lalu, Fay. Mending lo pulang sekarang, mau gue panggilin ojek?” balasku sambil menawarkannya kendaraan untuknya. “Gue gak yakin lo udah maafin gue. Gue gak seharusnya ngelakuin itu, gue gak berani bilang sama lo karena gue takut lo sakit hati.” Mendengar ocehannya, aku merasakan emosiku meluap. “Oh berarti dengan diem-diem jadian sama Farrell bakalan membuat perasaan gue jadi lebih baik?!” Aku membentaknya, detak jantungku berdetak semakin kencang.
“Bukan gitu maksud gu-“ Kali ini, aku yang memotong ucapannya. “Kenapa lo ga bilang sama gue sih? Gue merasa naif dan bodoh setelah tau apa yang sebenernya terjadi dibelakang gue. Apa lo pikir sertelah gue mergokin lo berdua waktu itu gue bakalan bilang ‘Selamat ya! Semoga langgeng!’?!” Aku menarik nafas panjang sebelum melanjutkan perkataanku. “Gue udah gak peduli soal Farrell lagi, Fay. Dia udah milik lo sekarang, yang gue belum ngerti tuh kenapa. Kenapa lo bohong sama gue?” Tanpa sadar, aku sudah mengepalkan kedua tanganku. Pertanyaan dan pernyataan yang selama ini aku simpan untuk diriku sendiri kini keluar dengan lancarnya, tanpa kusadari juga, aku tidak lagi merasakan adanya sumbatan aneh dihidungku, mungkin karena gejolak emosi yang aku alami sekarang. “Jawab gue Fay. Mungkin setelah gue tau kenapa, kita bisa baikkan lagi.” Sambungku lagi. Faya yang sedari tadi menundukkan kepalanya akhirnya menjawab pertanyaanku. “Gimana caranya buat gue untuk bilang sama lo kalo gue naksir Farrell juga? Niat awal gue buat ngejodohin lo sama Farrell, tapi malah gue yang kena karmanya. Gue bilang gue gak suka dia, tapi semakin hari... justru gue yang makin suka sama dia. Maafin gue, Ndri... gue gak bermaksud buat ngekhianatin lo..”
“Kenapa lo gak jujur dari awal sama gue, Fay? Kenapa? Mungkin kalo lo jujur sama gue, gue bakalan mundur. Dibanding lo, gue bukan apa-apa. Tapi kenapa lo gak cerita aja kalo lo sama Farrell udah deket duluan?” Tanyaku lagi, emosiku sudah mulai mereda. Aku menghela nafas panjang sebelum ia menjawab pertanyaanku lagi. “Gue takut lo marah sama gue, Ndri. Gue takut, gue pengecut. Gue gak nyangka lo bakalan tau soal gue sama Farrell, jadi gue diem aja. Maafin gue, Ndri. Kita bisa kan temenan lagi?” Faya memohon. Aku terdiam sesaat sebelum menggeleng. “Gue gak yakin kita bisa kayak dulu lagi, tapi gue udah maafin lo dari dulu, Fay. Kita bisa temenan, tapi mungkin gak kaya dulu.” Aku terdiam sejenak sebelum melanjutkan perkataanku. “Sekarang mending lo pulang aja. Mau gue panggilin ojek atau minjem handphone gue buat telepon Farrell? Gue tau lo gak punya pulsa.”
~~~~~
Beberapa hari setelah kunjungan mendadak Faya kerumahku, sedikit demi sedikit, aku mulai mencoba memahami keadaan Faya waktu itu. Perlahan-lahan, aku mulai memaafkan Faya sepenuhnya, pasti sulit baginya untuk menahan perasaannya untuk Farrell, sedangkan dulu, hampir setiap hari aku mengoceh tentang lekaki jangkung yang satu itu. Pasti lebih sulit bagi Faya untuk merahasiakannya dariku, 3 bulan bukan waktu yang pendek. Sedikit demi sedikit, aku menghargai usahanya untuk menahan diri.
Aku juga semakin mengerti tentang perasaan seorang manusia, bagaimana rasanya terjebak dalam dua buah pilihan, di satu sisi rasanya ingin untuk memilih ego diri sendiri, namun hati tak cukup tega untuk melukai orang lain. Disi lain, rasanya ingin untuk menjaga hubunganmu dengan seseorang, namun aku yakin, manusia pasti ingin sesekali mengutamakan dirinya dari orang lain. Faya memilih untuk mengutamakan dirinya, dan aku mengerti, Faya memilih pilihan yang menurutnya adalah yang terbaik. Mungkin suatu hari, aku akan menemukan sesuatu yang menurutku adalah yang terbaik. Namun sekarang, biar hidup yang membawaku bertemu dengan hal yang harus aku pilih.
0 komentar