29. SEKAR OCTAFILIANA AFIFAH - KEMBALI LAGI

02.18

“Maaf ya, aku mau fokus belajar dulu.”
Satu kalimat. Menurutku sesuatu yang sangat klisye yang hampir selalu diucapkan saat ingin menolak seseorang yang mengutarakan perasaannya. Singkatnya, menolak secara halus. Sebenarnya, ada alasan dibalik kalimat tersebut. Alasan pertama, ‘kamu jelek’. Kedua, ‘aku gak suka sama kamu’. Ketiga, ‘aku udah suka sama oranglain’. Terlebih lagi, akulah yang baru saja mendengarnya kata kata tersebut. Aku yang malang.
“Sekali lagi maaf ya Rak” perempuan didepanku membalikkan badan rampingnya dengan membawa sebuket mawar putih di tangan kirinya. Ya, buket bunga itu pemberian dariku yang aku harap akan membuahkan hasil yang menyenangkan hati. Buket bunga itu adalah hasil penyisihan uang jajanku selama 3 bulan terakhir ini. Sekali lagikukatakan, aku yang malang.
Aku hanya terdiam mematung mendapati apa yang barusan aku dengar. Aku berharap itu hanya angin lalu yang melintasi telinga kananku dan keluar melalui telinga kiriku. Tapi ini semua nyata. Aku benar-benar tidak berpikir bahwa aku akan ditolak dengan cara klisye seperti ini. Maksudku, perjuanganku mengejarnya selama setengah tahun ini hanya berbuah hasil seperti ini? 
Aku masih terdiam melihati sosoknya yang lama kelamaan menghilang diantara lorong-lorong kelas. Aku tak berkutik sedikitpun hingga suatu tangan sedingin es batu menyentuh pundak kiriku yang masih terasa lemas. 
“ha? Siap..” pemilik tangan dingin itu langsung merangkulku dan membuka bungkusan chiki yang dibawanya.
“lagi ngapain lo Rak? Sendirian aja... widih muka lo kenapa Rak? Lesu amat kayak abis dikejar-kejar setan insidious!” sedetik kemudian terdengar suara tawaan renyah di telinga kananku. Aku yakin, ini lebih garing dari pada ayam crispy yang selalu aku beli dikantin sekolah.
“lo setannya kan vi?” balasku masam. Ya, Ravi. Teman seperjuanganku sejak pertama kali masuk SMA. Ntah kenapa aku selalu sekelas dengannya dari kelas 10 hingga sekarang kami duduk di bangku kelas 12. Kebetulan yang sangat tidak lucu bukan? Sampai-sampai aku muak dengan candaan super garingnya yang hampir kudengar setiap hari. Oh ya, bahkan hal itu membuatku lupa memperkenalkan diri. Ehm, aku Raka. 
“garing banget Rak, galucu. Eh serius muka lo lesu banget. Kenapatuh?” sahutnya sembari memasukkan sebuah chiki cheetos yang baru saja dibuka ke mulutnya. ‘sekarang gue tanya, siapa duluan yang mulai garing duluan?’ tapi kuurungkan niatku mengatakannya. Aku yakin ia hanya tertawa mendengarnya. Lagilagi, garing. Hanya membuang-buang waktu saja mendengarnya.
“hmm kepo amat” ujarku melepaskan rangkulannya dan berjalan lebih cepat menjauhinya. Rasanya malas sekali mengingat apa yang terjadi beberapa menit lalu.
“eits bro, gue seriusan nih” balasnya tanpa mengubah tempo jalannya menyamaiku. “oh atau lo barusan ditolak Milla?”
Hap, tepat sasaran! Bagaimana dia tahu? Padahal aku tidak menceritakan kepada siapapun rencanaku mengutarakan hati pada Milla. 
“ngintip lo ya tadi? Jahat bang..” belum selesai aku menyelesaikan perkataaanku, terdengar gelak tawa mengudara  di lorong kelas 10 yang yang terlihat sepi penghuni.
“hahaha aduh Raka! Jadi bener nih, lo barusan nembak si Milla?” ia tertawa dengan nada tampak tak berdosa. Aku bersyukur anak kelas sepuluh tidak ada pelajaran tambahan. Jika ada, mungkin Ravi sudah babak belur ku jotosi ditempat itu juga. Aku mengangguk sebal. Ia menyamai derap langkahku dan merangkulku lagi. Senyum evil terlihat menghiasi air mukanya sampai-sampai aku risih dibuatnya.
“lo tuh ya dibilangin makanya jangan ngeyel Rak! Nih ya, Milla tuh populer banget, gila! Yang ngedeketin dia itu banyak banget, cowok-cowok famous berkelas semua lagi. Lo cuma jadi satu dari berpuluh-puluh orang disana. Famousenggak, berkelas enggak, ganteng apalagi, enggak banget! Mana mau Milla sama lo, sia-sia orang kayak lo ngedeketin Milla. Cuma bikin sakit disini bro!” ujarnya panjang lebar seraya menunjuk kearah hatinya dengan bungkusan chiki kosongnya.
"Berisik lu ah vi” ucapku kesal meninggalkan Ravi yang tengah menggenggam sisa terakhir chiki cheetsonya yang sudah keluar dari bungkusnya.
"Ou, ou, jangan ngambek gitu dong Rak. I’m pinky swear cuma bercanda kok" ucapnya santai tanpa rasa bersalah dan melahap potongan akhir cheetosnya itu. Dia bahkan tidak tahu mukaku yang sudah memerah masam dibuatnya. Aku tak menjawabnya.

Tiba-tiba semerbak harum vanilla mengitari sekeliling hidungku yang masih memerah. Rambut panjang pemilik harum vanilla ini terlihat menjuntai lurus ke bawah. Melewatiku tanpa senyum, bahkan tanpa menoleh sedikitpun kepadaku. Membuatku terdiam melihatnya tanpa ekspresi sedikitpun. Sesekali harum tubuhnya mengingatkanku akan masa lalu yang menyenangkan, bersamanya. Saat aku masih bersahabat dengannya. Tepatnya, saat ia masih menggapku sahabatnya.

*flashback*

"lo gak apa apa?" Sebuah uluran tangan mungil tersodorkan kepadaku. Tanpa minat melihat wajahnya sedikitpun, aku mengulurkan tanganku menerima bantuannya.
"Makasih ya" ucapku berdiri dan memijat kepalaku yang masih terasa cenat cenut. Aku membuka mata perlahan dan melihat seseorang yang mengulurkan tangannya padakumelihatku dengan tatapan memelas. 
"Maaf ya, tadi gak sengaja" jawaban yang simple, tapi ucapannya terdengar seperti sangat bersalah. "Tadi lagi nggak fokus" imbuhnya lagi.
"Gapapa kok cuma cenut cenut doang" ucapku memandang perempuan di depanku tak berekspresi. Jika aku boleh jujur, ingin aku mengatakan, “makanya fokus dong! Dikira enak apa, jatuh dari sepeda?!” Tiba-tiba ia tersenyum dan mengulurkan tangannya lagi, "Gue Arini. Kita satu sekolah” aku menganggukkan kepala “gimana lo bisa ta..” “seragam kita sama bukan? Lagipula kan ini udah di sekolah?” aku sadar bahkan sedari tadi aku hanya memperhatikan wajahnya yang tampak melas tanpa sedikitpun melihat pakaiannya. Batik dengan warna hijau cerah yang melambangkan sekolahku tercinta. Bahkan aku lupa aku sudah memasuki area parkiran sekolah? Bagaimana bisa?!
“oh murid baru ya?” ia mengangguk pelan sembari membenarkan letak tas ransel pink mininya. “gue Raka. Kelas 8A” ucapku menarik stang sepedaku menuju parkiran ingin bergegas pergi. 
“oh ya? Kalau begitu kita sekelas dong... Raka?” ucapnya masih terus memandangiku. Bibirnya terlihat sedikit tertarik menyunggingkan senyum kecil. “hmm.. menurut lo aja gimana?” ucapku acuh tak acuh sambil tetap memegang kedua stang sepedaku dan bergegas pergi. 
“eitss Rak, bareng dong” ucapnya terdengar girang sambilmembuntutiku dari belakang. Aku menoleh padanya dengan tatapan ‘huh? What’s your problem, girl’ tapi ia tidak menyadarinya. Bahkan aku bisa melihat matanya berbinar-binar cerah seperti habis kehujanan uang dari langit.
“hah? Ya boleh aja sih. Cepet dong keburu bel. Gue gak mau dihukum lagi” kali ini aku tak menoleh dan segera meraih ranselku meninggalkannya.

~~~~~

Sampai akhirnya aku dan Arini semakin dekat sejak pertemuan kami pertama kali di parkiran sekolah. Kami menjadi sahabat seperti dora dan boots. Dimana ada dora, disitu pasti ada boots. Ya, begitulah teman teman menjuluki kami. Arini si dora, bahkan penampilannya pun benar-benar seperti dora dengan rambut lurus sebahu dan poni pendek diatas alis. Dan aku adalah boots yang setia menemaninya setiap saat. Ntah disaat senang ataupun sedih. Aku selalu menikmati saat saat berdua bersama Arini. Saat dimana ia bahagia ketika kuberi hadiah boneka beruang besar di hari ulangtahunnya. Saat dimana ia sedih ketika kucing kesayangannya mati tertabrak truk. Saat dimana ia kesal saat aku mengambil kulit ayam kentuckynya, bahkan saat dimana kita berdua malu tercebur ke got saat mengejar kupu-kupuyang sangat indah sayapnya. Saat-saat bersama Arini selalu menjadi salah satu bagian favorit dalam hidupku hingga suatu hari aku mendengar rumor dari salah seorang temankubahwa ia menyukaiku lebih dari sahabat. Awalnya aku tidak percaya sampai akhirnya aku memberanikan diriku bertanya padanya. Ia hanya tersenyum masam dan berucap pelan, nyaris tak terdengar.
“maaf Rak. Gue gatau akhirnya bakal begini. Gue sadar, persahabatan perempuan dan laki-laki pasti akan berakhir menjadi perasaan suka oleh salah satu pihak. Gue salah Rak dari awal. Gue mulai sadar kalau gue gak cuma ada rasa sayang sama lo sebagai sahabat Rak. Gue mohon lo jangan kecewa ataupun kaget dengan pernyataan gue barusan. Maaf Rak gue gabisa jaga persahabatan kita”

~~~~~

Esok paginya setelah kejadian itu, aku tak melihat Arini sebatang hidungpun. Padahal dulu kami sering berlomba-lomba siapa yang datang lebih pagi dan aku selalu kalah akan itu. Jam telah menunjukkan pukul 07.01. Sampai saat ini aku bahkan belum melihat Arini juga hingga salah satu teman sekelas kami berdua berkata bahwa ia sedang sakit. Padahal biasanya jika ia sakit, ia selalu menititpkan izin padaku.

Beberapa hari kemudian Arini sembuh. Tetapi, ia terlihat selalu menghindariku. Yang biasanya selalu mengajakku ke kantin, sekarang ia hanya mengajak teman perempuansekelasnya. Yang biasanya tertawa tawa ketika mendengar candaanku, sekarang ia hanya tersenyum kecil seperti tidak sama sekali memperhatikan apa yang aku ucapkan. Bahkan saat pulang sekolah, ia langsung keluar kelas tanpa perlu meneriakiku dari luar jendela kelas karena lama membereskan buku-buku pelajaran.

Aku menyadari bahwa sebenarnya waktu itu ia hanya mengungkapkan perasaannya tanpa meminta jawaban sama sekali padaku. Bahkan ia juga yang memulai menjauhiku duluan. Aku sama sekali tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Terkadang perempuan memang sangat sulit ditebak.

***

“woy bro! Bengong aja, ngeliatin siapasih?” aku segera tersadar dari lamunanku dan melotot ke arah Ravi. Ia hanya cengengesan dan membuka bungkus cheetosnya lagi. Sejak kapan ia membeli cheetos lagi?
“ck ck ck. Eits, Arini makin cantik aja ya. Deketin ah.” Aku tahu persis ia hanya meledekku. Ravi satu-satunya orang yang pernah aku ceritakan tentang hubungan persahabatanku dengan Arini. 
“eh serius deh Arini makin cantiiik” imbuhnya dengan penekanan nada di kata ‘cantik’ yang luar biasa kerasnya. Aku semakin memelototinya dengan tajam. Alih alih takut ada yang mendengar. Aku tahu lorong ini sepi, tapi kantinnya sangat ramai. Isinya dominan anak kelas 12 yang malas mengantri membeli makanan di kantin kelas 12.
“berisik lo. Deketin aja sana” ucapku kesal lalu mengambil paksa sebuah cheetos dari bungkus yang digenggamnya. “weits, bolehlah boleh. Pasti diterima kok gue. Emang kayak lo? Bela-belain nyisihin uang jajan buat beli bunga, eh ditolak sama Mill... Hmm” aku yang semakin kesal mendengarnya segera merebut paksa bungkusan cheetos digenggamannya dan segera berjalan ke arah kantin meninggalkannya.
“Huu Raka ngambek. Untung gue masih punya cheetos lagi” ucapnya setengah berteriak sambil mengeluarkan bungkusan cheetos lagi. Bagaimana bisa ia membawa banyak cheetos? 
“sumpah Rak. Lo pasti nyesel nolak Arini ya?” ucapnya asal ceplos yang membuatku semakin jengkel terhadapnya. Untung saja Ravi temanku. Kalau bukan, aku bersumpah akan menenggelamkannya di sungai amazon yang penuh ikan piranha yang haus darah saat itu juga. 
“gue gak nolak Arini, Rav” aku terdiam lalu menarik nafas panjang “dia juga nggak nembak gue” sambungku lagi, tetap kesal.
“lo sebagai cowok harusnya peka Rak. Perasaan perempuan mah ora ono sing tau” ucapnya mengeluarkan aksen jawa yang cukup kental.
“gini deh Rav, dia jauhin gue duluan. Gue harus apa coba?” aku menghela nafas panjang sambil menatap awan-awan dilangit yang mulai menghitam. Sepertinya akan segera turun hujan.
“tapi lo juga gak ada usaha ngedeketin dia lagi kan? Malah ngebiarin dia ngejauhin lo? Iyakan?”
Aku terdiam mendengar pertanyaan Ravi. Ia benar. Tak terpikirkan olehku jika ia menghindariku maka seharusnya aku mendekatinya, bukan mendiamkannya begitu saja.
"Ah begitu ya?" Aku mengusap-usap leherku yang tak gatal sama sekali.
"Deketin lagi dong. Masa sahabatan 3 tahun jadi renggang begini? Tuh tuh" ia menyenggol sikuku ke arah Arini "kebetulan dia lagi sendiri. Samperin dong. Gak kangen dulu lo yang selalu nemenin dia?" aku terdiam melirik sosoknya yang duduk terdiam mengaduk-ngaduk es teh nya yang kupikir gulanya sudah tercampur seluruhnya.
"Tunggu apalagi? Samperin dong Rak. Eh gue mau ke kelas dulu deh, mau nyalin pr nya Aida hehe. Samperin tuh jangan lupa. Sekedar say 'hi' ajalah atau ajakin ngobrol. Kali aja dia mau jadi sahabat lo lagi hehe" Ravi cengengesan dan menepuk pundakku lagi lalu segera berlari menuju kelasnya yang terletak dekat ujung lorong kelas 10.
Sepeninggal Ravi aku baru tersadar aku tidak mendengar apa yang baru saja ia katakan.
"HA?! Apaan?!" Rupanya suaraku cukup kencang hingga membuat hampir semua mata di kantin melirik ke arahku. Yang tak terduga, Arini menghentikan aksi aduk mengaduk es tehnya dan melirik heran kearahku. Bibir mungilnya terangkat perlahan membentuk senyuman simpul, tentunya tertuju untukku. Maksudku, perkataanku. Aku hanya menggaruk garuk kepalaku yang tak sama sekali gatal. Tanpa rasa ragu sama sekali aku datang menghampirinya dengan muka selugu mungkin. 
"Sendiri aja.. Rin?" Ucapku gugup seakan dia segera mengusirku atau segera pergi karenan melihat kedatanganku.
"Nggak kok, nungguin temen" ucapannya terdengar sangat datar. "Ada perlu apa Rak?" Ia menoleh sebentar padaku hingga akhirnya kembali memainkan sendok es tehnya
"Nggak ada apa apa kok. Kita.. Udah lama gak ngobrol aja Rin" ucapanku membuat ia berhenti mengaduk es tehnya dan menatap kearahku. Ia tersenyum simpul. "Lo nya aja yang sombong Rak. Mentang mentang udah nggak  pernah sekelas lagi kayak pas SMP"
"Seperti itu?" Ucapku bergurau menirukan nada suara syahrini di stiker line "bukan karena..."
"Bukan" jawabnya seakan tahu apa yang aku maksud. "Masalah dulu, lupain aja. Jujur aja, waktu itu gue yang salah. Gue yang duluan ngejauhin lo. Gue takut lo ilfeel akan pernyataan gue saat itu. Tapi gue emang gak ke kontrol waktu itu. Gue gatau harus ngapain. Maaf ya" baru aku ingin menjawab perkataan Arini ia malah mengimbuhi terlebih dahulu. "Lo bisa jadi boots gue lagi" ia tertawa kecil lalu menyeruput es teh yang telah dibiarkannya diaduk sejak tadi.
"Oh? Gue pikir dulu lo itu.. Ah lupakan. Jadi sahabat lagi nih kita?" Aku menyunggingkan senyum selebar yang aku bisa. "Dari dulu gue gapernah nganggep lo bukan sahabat gue lagi. Lo tetep jadi sahabat terbaik yang gue punya kok" mendengar perkataannya membuat aku ingin tersenyum lebih lebar lagi. Tapi sayangnya tak bisa. "Walaupun lo gapernah ngomong lagi sama gue" imbuhnya menatapku lekat. Aku bahkan bisa melihat binar-binar di wajah cantiknya, yang sudah lama sekali aku tak lihat.
"Gimana Rak? Udah ada gebetan baru? Hmmm" ia tersenyum jahil. Senyumku perlahan memudar. Perkataannya mengingatkanku pada..
"Arini! Udah lama nunggu?" Terdengar suara yang sangat familiar dari arah yang kubelakangi.
"Eh sini cepet, ada yang mau gue kenalin nih!" Ucap Arini melambaikan tangan kepada pemilik suara familier itu.
"Kenalin, ini sahabat gue..." 
"Lho? Raka?"

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe