07. ARINI NURSASTI SUCISARI - KANVAS HITAM

04.54

Malam ini bintang mewarnai langit malam nan gelap. Layaknya tinta yang ditumpahkan diatas kanvas hitam, kosong tanpa harapan. Sama seperti diriku dahulu, yang kosong…harapan bagaikan angan-angan belaka. Tapi sekarang semua telah berubah, aku menggapai warna-warna baru dihidupku dan kutumpahkan semuanya di atas hatiku. Ya…aku mendapatkan dia, dia yang selalu aku impikan sejak duduk di bangku SMA

                                                                        ***
“BRENDA!! BANGUN!!! UDAH JAM BERAPA INI???” *DUBRAKKKK!!* Aku spontan terjatuh dari tempat tidur, terkulai sakit dilantai sambil menahan mata yang masih ingin terpejam, rambut singaku terjuntai kesana kemari. Oh yaammpun……..aku masih merindukan Kasur. Sedetik dua detik aku masih terkulai dilantai, menikmati dinginnya lantai kamarku…tibatiba..
“YAAMPUN BRENDAA!!! TURUN KAMU SEKARANG! MAU BERANGKAT SEKOLAH KAPAANNNNNN??????” Sahut mamaku lagi, kali ini ia sudah kehilangan kesabaran. Aku pun langsung kocar kacir setengah mati saat menyadari bahwa aku telat bangun. Aku pun langsung ngacir kejalanan tanpa pamitan.
Sampai disekolah aku langsung melakukan ritual panjat tembok yang sudah aku lakukan belakangan ini. Tasku dilempar terlebih dahulu, lalu aku memanjat tembok dengan sekuat tenaga. “Oh, aku bisa gila bila terus seperti ini” aku berguman kepada diriku sendiri. Langkah demi langkah aku menuju kelas dengan penuh harap bahwa Pak Zhaqy tidak hadir hari ini, bisa mati konyol aku kalau sampai ketahuan telat.
                                                            ***
Jam 10.00 Aku  masih meletakan kepalaku di atas meja dengan penuh rasa malas, entah apa yang ada dipikiranku akhir akhir ini, rasanya ada kurcaci kurcaci kecil yang mengendalikan otakku. Oh yaampun...kurcaci-kurcaci nakal itu mengendalikan pikirannya hingga sekarang aku hanya memikirkan dia…Farrell, laki-laki yang aku kagumi sekaligus telah menjadi sahabatku sejak pertama kali masuk kelas ini. Aku tidak bisa menahan deraian air mata yang spontan jatuh keatas buku-ku yang berserakan. Aku jadi ingat kejadian beberapa minggu lalu


[]
Angin sepoi-sepoi menerobos bajuku yang kebesaran, aku berusaha menahannya dengan kertas tapi percumas saja. Hari ini cuaca dingin sekali, aku yang sedang sendiri duduk di depan kelas sambil menggenggam untaian kertas hafalan untuk ulangan hari ini. Tak sepenuhnya otakku terarah kepada runtutan kata yang ada di kertasku sekarang, ingin rasanya aku menyanyikan sebuah lagu dan berharap hurf-huruf itu terbangun dari kertas dan menuju tong sampah di sebrang sana, ah..tapi itu hanya khayalan mustahil. Sebenarnya dibalik mataku yang bulat dan tertuju pada kertas ini, aku sedang memikirkan sesuatu tentang Farrell, seorang sahabat yang aku kagumi, entah sesuatu apa yang mengontrol otakku untuk terus memikirkannya dan sempat aku berfikir, ada sesuatu apa yang sudah membuatku jatuh cinta kepada sahabatku sendiri? Namun  Aku berusaha sekuat tenaga untuk focus kepada sekumpulan huruf-huruf membosankan yang ada di depanku seraya berfikir akan mengisi apa dikertas ulangan nanti untuk melanjutkan hidupku disekolah ini.
“Bren, sendirian aja belajarnya. Lo mah kebiasaan ga ngajak ngajak ah nyebelin” tiba-tiba Farrell datang dengan paras wajah cemberut yang ia buat. “yaela, lo nya aja main mulu di dalem. Udahlah belajar aja sini sama gue, belajar sama ahlinya sini” sahutku sambil tertawa ringan. Akhirnya kami sibuk berdiskusi tentang huruf-huruf ini sambil diselingi canda dan tawa.
Angin terus berhembus kearah Aku dan Farrell, tapi angin ini tidak dapat mengalahkan gelak tawa kami yang semakin lama semakin menjadi, seperti suara dentuman keras yang makin lama makin nyaring. Saat kami sedang menikmatinya, tiba-tiba Farrell berkata “eh gue jadian loh sama ade kelas, kelasnya gajauh dari kelas kita. Pas gue tembak tuh dia imut banget kayak malu-malu gitu, sumpah lucu banget Bren” tawaku langsung terputus begitu saja, dadaku terasa sesak layaknya ada sesuatu beban berat yang ditumpahkan keatasnya, rasanya seperti pisau yang memelukku sangat erat. Sakit rasanya aku mendengar sahabatku sendiri berkata begitu, memang tidak normal saat mendengar curhatan seorang sahabat yang habis menyatakan cintanya kepada adik kelas, bukan suka cita yang aku rasakan, tapi duka mendalam untuk diriku sendiri. “eh kok lo diem sih? Denger kan gue ngomong apa?!” suara Farrell tiba-tiba menghancurkan lamunanku, “eh..engg..a apa apa kok..selamat ya langgeng terus, jangan sombong ya sama gue! Hahahaha” sahutku seraya berusaha menutupi air mata yang hamier jatuh kepipi. “eh gue duluan ya ke dalem, dingin diluar gatahan gue” kataku cepat sambil berusaha bangkit dari persinggahan dan menuju kelas dengan langkah super cepat untuk menutupi deraian air mata yang sudah mengucur, membelakangi Farrell yang tengah menatap punggungku yang akna berlalu.



Mengingat hal itu lagi, rasanya aku ingin menangis lagi untuk kesekian kalinya. Aku merasakan bahwa Farrell berubah. Ia yang dahulu penuh tawa saat denganku, kini berubah… ia menjadi lelaki yang mungkin sekarang aku kagumi dalam diamku. Tapi ada rasa kecewa yang mendalam, aku selalu bertanya Tanya kepada diriku.. mengapa Farrell berubah?
“Bren, gue mau cerita donggg” tiba-tiba Farrell mengaggetkanku dari khayalanku “apaa?? Cerita aja kali” balasku “si Sofi kan ngekode minta beliin bunga ke gue, terus gue nitip sama temennya.. nah rencananya gue mau ngasih besok, tapi gue degdegan. Gimana nih??” katanya dengan ekspresinya yang lucu hingga membuatku rindu dengan senyumannya “ciee bisa juga lo romantis yaa hahaha ya gapapa sih kasih aja, lu kan cowo harus berani lah” kataku memberi saran “oke, tapi lo temenin gue ya plis” Jjllleebbb….tiba tiba rasa sesak didada kembali kurasakan saat ia memintaku untuk menemaninya. Haruskah aku megatakan iya? Haruskah? Aku terdiam sejenak, kembali dalam lautan lamunanku, “Heii Brendaa!!” Farrell mengaggetkanku lagi.. “Kenapasih bengong? Lo akhir-akhir ini jadi suka murung deh, gimananih? Mau ga besok?” pintanya sedikit nada merengek sambil melengkungkan bibir mungilnya “IIIYYAAA!!! BAWEL LO” kataku sedikit berteriak, berusaha menahan mataku yang panas karena ingin menangis “lagi” cepat-cepat aku berlari kecil keluar kelas untuk sejenak mengeluarkan air mata ini.
Jam menunjukan pukul 09.00 aku masih menatap handphone berharap ia membalasan pesanku tadi. Tiingg..tiingg tak lama kudengar handphone-ku berdering lagi, kubuka pesan darinya “Bren, pacar gue gasuka kalo kita deket banget. Kita jaga jarak ajaya, jangan terlalu deket sama gue. Yang masalah ngasih bunga itu, biar gue sendiri aja” Oh yaampun..lagi-lagi rasa sesak itu datang, rasa yang bercampur emosi di dada ini, ingin rasanya aku mengeluarkan keluh kesahku kepada semua orang, ingin rasanya aku mengutarakan emosiku kepada Farrell, dan yang paling ingin paling kuutarakan adalah “Yaampun rel, kita tuh sahabat. Kenapasih? Emang gue kenapa? Rel..gue sayang lo” tak sengaja aku menuliskan kalimat itu di kolom pesan chat-ku. Namun, aku tersadar aku hanyalah seorang sahabat, buru-buru aku menghapus kalimat tadi dan menggantinya dengan “Oh yaudah gapapa” aku berusah tenang, tapi kenyataannya aku sedang menangis diri sendiri. Ku dekap gulingku dengan penuh cengkraman, kututupi tubuhku dengan selimut, menangis sepuasnya adalah satu-satunya cara meluapkan segala emosiku ketika tak seorangpun mengerti. Aku terus menangis..hingga akhirnya tertidur lelap dengan mata sembab

                                                                  ***
Aku berjalan lunglai, berusaha sekuat tenaga mengangkat kakiku menuju sekolah. Aku tidak peduli dengan keadaan sekitar. “Bren, abis nangis ya lo? Sembab banget tuh mata” kata salah seorang teman, tetapi aku terus berjalan menuju bangku-ku tanpa menghiraukannya. Saat aku menatap keramaian kelas, tiba-tiba mataku bertatapan dengan Farrell, ia menatapku cukup lama, mungkin ia bertanya-tanya mengapa aku menangis? Atau mungkin ia menyadari penyebab aku menangis tetapi ia tidak peduli? Oh yaampun sifat ketidak peduliannya muncul lagi seperti dulu sebelum aku mengenalnya sebagai sahabatku.
Aku meneguk air sebotol untuk menghilangkan rasa hausku sehabis olahraga, kuraih segumpal uang dikantong untuk jajan dikantin. Saat aku melewati pintu, ku lihat Farrell dengan teman nongkrong-nya sedang berusaha membantu Farrell memberi bunga kepada Sofi. Oh aku melihatnya, matanya yang berbinar tertuju pada Sofi..aku segera berlari sekuat tenaga sambil mengepalkan tanganku kesal bercampur sakit di dada untuk kesekian kalinya. Tak ku sangka, Farrell menatapku dari belakang dan melihatku menangis sambil berlari, tidak tahu kemana aku pergi..
                                                                    ***
Tiinggg…tinggg kubuka pesaan dihapeku, tertera namanya di hp ku. Kubuka pesan darinya “Bren, lo kenapasi nangis terus? Lo kayak berubah! Lo jadi cengeng, lo kenapa? Hah?! Lo gapernah cerita ke gue sekarang, lo terlalu banyak sendiri. Cerita lah ke gue” ku terdiem sejenak, berfikir akan kubalas apa pesan ini, akhirnya aku putuskan untuk menjawab.. “Gue berubah? Iya! Gue berubah karena lo yang mulai duluan berubah! Lo nyuruh gue ngejauh Rel.. lo bilang gue cengeng? Gue tuh nangisin lo! Asal lo tau ya, sakit di suruh jauhin sahabat sendiri Rel.. gue nangis karena lo! Gue kecewa.” “Oh ya satu lagi, gue mau jujur karena gue gakuat bohong. Gue suka sama lo Rel..” dengan penuh amarah, ku kirimkan pesan kepadanya. Seluruh tubuhku memanas layaknya sauna, setan-setan jahil menguasai pikiranku, ku baca lagi pesanku untuknya. Dan lalu aku tersadar…aku menyatakan bahwa aku suka dengannya…Aku harus apa? Oh ada rasa menyesal campur puas. Farrell terus mengalihkan pembicaraan, aku tau ia pasti kaget mendengar pernyataanku tadi. Tapi apa boleh buat? Aku sudah tidak kuat lagi menahan rasa itu sendiri.
.
                                                                             ***            
Berbulan bulan berlalu, aku yang mengira Farrell akan menjauh dariku dan tidak sedekat dulu adalah salah. Sejak itu, ia menanggapi-ku dengan penuh kesabaran, aku semakin dekat lagi. Kini kami sudah kelas 12, aku masih mengagguminya, aku penganggum beratnya hingga rela menunggu selama ini, dan kabar baiknya adalah..ia sudah mengakhiri hubungannya dengan Sofi. Aku senang, namun aku juga sedih. Apakah ia tidak peka? Apakah kode yang kubuat tidak cukup? Pertanyaan itu masih mengeriyangi akal sehatku. Aku dan Farrell kembali seperti dulu, bersahabat. Namun aku masih menyukainya..semakin bertambah..seperti aku terkena hipnotis.
Hari berlalu, Farrell semakin hari semakin memberiku perhatian lebih, hingga suatu malam ia mengatakan hal yang tak kuduga selama ini “Bren, gue tau gue salah, gue tau gue egois, gue tau gue gapernah peka. Tapi setelah yang telah lo lakuin selama ini, lo gapernah nyerah, lo cewe yang berani sampe nyatain kalo lo suka sama gue. Sekarang gue mau ngomong, gue suka sama lo. Lo mau ga jadi pacar gue?” Jleb…rasanya seperti aku ada peri-peri kecil disekelilingku yang membuatku tersenyum malu, rasanya seperti mimpi, rasanya seperti aku mendapatkan apa yang ku inginkan “iya gue mau kok” dengan penuh kebingungan akhirnya aku hanya menulis kalimat itu dan langsung mengirimnya dengan penuh suka cita dalam diriku.
                                                                ***
Kutatap langit malam yang indah bertabur bunga, aku berhasil meraih bintang yang kini ku simpan dalam kanvas hitamku untuk kujaga dan kusimpan. Kini aku dan Farrell mempunyai status yaitu berpacaran. Tapi bukan berarti kami harus romantis tiap saat, ia selalu menjadi sahabat dalam duka ku, dan selalu menjadi musuh paling kusayang. Aku tidak menyangka bahwa aku yang selalu menunggunya dalam kesendirian, aku yang selalu berusaha memberi perhatian kepadanya ketika seorangpun tak bisa, aku yang selalu menjadi tempat amarahnya saat ia sedang emosi, aku yang menjadi penghiburnya saat ia berada di tengah kesedihan. Kini aku menjadi segalanya baginya.

Aku belajar, bahwa tidak harus laki-laki terlebih dahulu yang harus mengatakan bahwa ia memiliki rasa kepada lawan jenisnya, aku yang selalu berkuat diri menahan malu karena menyatakannya sendiri. Kini, seorang lelaki yang dahulu hanya khayalan dalam lamunan-ku, impian dalam benak-ku dan kesedihan dalam kesendirian-ku, kudapatkan dengan caraku sendiri. Menurutmu, apakah salah jika seorang perempuan menyatakan cintanya terlebih dahulu? Menurutku tidak, karena kita akan mendapatkan apa yang sudah kita perjuangkan.

You Might Also Like

1 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe