25. RAKA FAJARI ICHSAN - TERUS BERLARI, MAESTRA!

02.23

Gak. Gak ada yang namanya kekurangan atau kelebihan. Bedanya cuma gimana cara kita sebagai manusia buat mensyukurinya. Dan aku adalah orang yang sangat terlambat buat menyukuri nikmat-Nya. Ya, memang pedih rasanya, saat nikmat kita dicabut dalam sekejap. Dan hari itu menjadi hari dimana aku berhenti berlari secara nyata.
Kenalkan, namaku Maestra Adibrata. Baru masuk SMA tahun ini. Gak pinter pinter banget sih, tapi aku masuk SMA terbaik di Bekasi. Bukan kebetulan, tapi aku masuk SMA terbaik ini karena prestasiku dalam olahraga yang paling aku suka di dunia, yaitu Lari.
Namun setelah masuk SMA ini aku berniat gak mau lagi ikut turnamen lari. Bosen, menang terus. Dan aku juga mau fokus belajar.
Aku udah suka lari dari kecil. Sambil main sama temen rumah. Maklum dulu belum ada Playstation atau semacamnya. Dari mulai main polisi maling sampai main benteng, teman temanku selalu bosan karena tim yang ada akunya yang menang. Cepat, memang lariku yang tercepat, bagai angin, bagai quicksilver.
Di SMP aku terkenal pelari tercepat. Aku juarai semua lomba lari eksternal yang aku ikuti. Namun dengan banyaknya lomba yang aku ikuti, aku gak pernah mempunyai sepatu lari, aku hanya memakai sepatu sekolah. Bahkan sepatu sekolah itu masih aku pakai di SMA ini. Walaupun banyaknya prestasi di bidang ini, orang tuaku gapernah mendukung aku menekuni olahraga ini. Mereka lebih suka aku belajar untuk mengejar PTN.
Hari itu aku terlambat kesekolah. Di sekolah ini biasanya yang terlambat disuruh lari keliling lapangan 10 putaran. Tentunya aku justru senang akan hukuman itu, itung-itung pemanasan. Aku berlari dengan cepat seperti biasa, hingga pada akhirnya pada putaran ke 7 seorang guru olahraga menyuruhku berhenti.
"Kelas berapa?" tanya guru olahraga itu, Pak Kadir namanya.
"10 Mipa 10,pak. Ada apa? Saya udah boleh ke kelas?"
"Nggak, lanjutin larinya nanti. Hari minggu kamu ada acara?"
"Ngga ada pak, ada apa ya?"
"Dateng ke sekolah jam 8 ya, ada seleksi buat lomba lari sebekasi, jangan telat."
Sial. Aku udah niat gamau lomba,malah disuruh bapak ini. Tapi apa boleh buat, aku gabisa nolak suruhannya.
Hari minggunya aku dateng kesekolah tepat jam 8. Udah banyak siswa lain yang siap siap mau seleksi. Aku ngerasa minder, liat mereka pake sepatu lari yang bagus bagus dan ber merek. Sedangkan aku pakai sepatu sekolah yang udah usang yang biasa aku pake buat lari pas SMP.
Aku lolos seleksi dan mewakili sekolah. Tapi sial! Dari 3 orang yang lolos tersebut aku juara 3, nyaris saja aku gak lolos. Dua orang didepanku sangat cepat dengan sepatunya yang keren-keren. Yeremia, juara 2 dengan sepatu Adidas, dan Farrell, juara 1 dengan sepatu Nike.
Aku bener bener minder.
Sebelum hari H lomba tersebut, aku meminta-minta pada orang tuaku untuk belikan sepatu lari yang Ori, apapun itu Adidas atau Nike, yang penting ber-Merek
Tentu orangtuaku gak mau beliin.
Hari perlombaan adalah besok. Aku udah latihan fisik dan jaga asupan, buat jaga stamina. Namun aku masih galau, masih mau sepatu baru ber-Merek.
Aku tau orangtuaku punya banyak uang tapi mereka terlalu pelit untuk membelikanku sepatu itu. Terngiang-ngiang di otak ku, kenapa mereka begitu pelit? Kenapa gak mau dukung hobi anaknya? Kenapa mereka begitu jahat? Kenapaaaa?
Setan di pikiranku mulai berbisik.
Sore hari orang tuaku sedang tidak ada dirumah. Aku masuk ke kamar orang tuaku. Tanpa gontay, aku mulai mencari cari dimana orang tuaku menyimpan uang. Aku mencari di lemari, laci, bawah kasur, namun belum menemukannya.
Tiba-tiba pintu terbuka.
Dan itu adalah ibuku.
"Kamu lagi ngapain? Kenapa lemari berantakan? Kenapa kasur kebalik? Apa yang kamu cari?"
Dengan pasrah aku menceritakan semua niat bodohku. Seketika ibuku menangis. Aku merasa sangat bersalah, tapi masih kesal, dan tiba tiba terucap dari mulutku.
" kenapa ibu begitu pelit? Kenapa ibu gak dukung apa yang aku suka? Kenapa ibu........"
Akupun menghentikan ocehanku dan terdiam, melihat ibuku mengeluarkan kotak sepatu running adidas dari plastik yang sedari tadi ia pegang.
Sial.
Aku malu. Aku hancur. Aku sangat merasa bersalah. Aku merasa orang paling hina di bumi. Aku gak tau mau ngapain. Aku anak yang durhaka.  Tanpa sepatah kata aku ambil sepatu itu dan berlari ke kamar untuk tidur. Aku tidak mengucapkan terimakasih atau semacamnya, aku terlalu malu untuk mengatakannya.
Inilah harinya. Hari lomba lari marathon se-Bekasi. Pagi pagi sekali aku sudah bangun dan pagi pagi juga rumahku sudah sepi, orangtuaku sudah berangkat kerja. Tanpa memikirkan kejadian kemarin, dengan semangat aku keluar rumah dan berangkat ke tempat perlombaan.
Marathon ini berjarak lumayan jauh. Dari Summarecon ke Grandwisata. Aku belum pernah ikut lomba lari sejauh ini. Aku akan berusaha menghemat stamina. Banyak pelari cepat disini, tapi aku optimis dan pede, mengingat aku pake sepatu baru.
Pistol ditembakkan ke atas pertanda lomba dimulai.
Jantungku berdetak seperti genderang, kakiku mulai melesat seperti roket. Aku tersenyum melihat pelari lain yang tertinggal dibelakangku. Aku cepat, seperti kilat. Kilat pun kalah cepat denganku. Aku sangat bersemangat.
Masih 1 kilometer lagi dari garis finish dan aku mulai melambat. Aku sadar mereka sedang menghemat stamina, dan aku merasa bodoh sudah membuang-buang stamina.
Yeremia sukses mendahuluiku. Aku gak berkutik. Aku ingin kejar namun sudah tidak kuat. Dia makin jauh didepan. Sial. Dibelakangku muncul pelari dari sekolah lain. Tampaknya siap mendahuluiku. Aku kesal setelah dikerjar Yeremia dan tidak akan membiarkan di dahului juga oleh pelari tersebut.
Lagi-lagi setan mengambil alih pikiranku.
Tanpa basa basi aku mendorong pelari tersebut tanpa memikirkan resikonya. Dia terkocar-kacir dan nyaris jatuh,namun tidak jatuh. Dia terlihat kesal dan berlari sekuat tenaga menyusulku dan ingin balas mendorongku. Sebelum dia mendorongku, aku akan mendorongnya terlebih dahulu.
Akan tetapi,
Dia menghindar! Aku yang sudah terlanjur mencoba mendorongnya, spontan kehilangan keseimbangan. Aku jatuh, badanku terseret, kakiku tertiban badanku sendiri.
Sudah jatuh tertimpa tangga.
Rombongan pelari di belakangku terkejut dan tidak bisa berhenti. Sebagian dari mereka berhasil menghindariku, namun sebagiannya menginjakku dan jatuh menghantamku.
Aku tak sadarkan diri.
Kubuka mata dan tersadar, ibuku yang ada didepan mataku. Sedang menangis. Aku merasa ada yang beda. Ada yang mengganggu. Ada yang benar benar tidak biasa.
Kubuka kain yang menyelimuti kakiku. Dan..
Subhanallah.
Mereka telah mengamputasi kaki kananku. Musibah yang kualami di perlombaan telah merenggut kaki kananku. Bukan apa-apa yang kupikirkan, bukan rasa marah yang kurasakan. Namun rasa penyesalan yang begitu dalam.
Ya, ini adalah karma.
Karma akan perlakuanku terhadap orangtuaku. Karma akan tindakan brutalku pada lomba hari itu. Karma akan manusia yang tidak pernah bersyukur.
Dengan musibah seperti ini, aku sadar. Tidak ada yang lebih penting selain bersyukur. Kita telah mempunyai kaki yang kuat, cepat berlari, dan bisa berjalan. Dibanding dengan mereka yang terlahir tidak mempunyai kaki, aku merasa bodoh masih mementingkan sepatu baru. 
Aku berdoa minta ampun kepada Allah Swt. Aku akan lebih bersyukur kedepannya, selama hidupku. 

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe