16. GALANG DHAIFULLAH ABDUL AZIZ - SEPERTIMU

04.44

Irama ini, irama keindahan. Keindahan dan simfoni indah dari alam negeri ini. Negeri yang indah, yang terindah. Sepotong surga yang jatuh ke bumi. Angin ini, angin yang membawa kesejukan, melewati hutan, sungai, lembah. Damai sungguh damai. Jikalau di dunia ini ada yang namanya kedamaian, maka inilah kedamaian itu. Tentunya, jika tanpa suara senapan dan pesawat tempur yang lalu lalang, asap yang mengepul tebal dan jeritan anak - anak menangis terpisah dari orang tua mereka karena perang ini. Tentunya, jika tanpa hal itu.
***
            Kenapa?, kenapa hal ini terjadi kepadaku?. Mungkin jika bukan salahnya aku sudah menjadi dokter ataupun pekerja di kantor – kantor Belanda. Ini memang salahnya, dan selalu salahnya. Hidup segan mati tak mau, di sinilah aku, bergerilya di hutan – hutan Banten. Makan jika hanya ada makanan, tidur jika mengantuk.
            “Tetap di sini!! Jaga ibumu sampai aku kembali!!”, Itulah kata – kata terakhirnya padaku. Ah tapi tidak juga, kalau tidak salah kata – kata terakhirnya adalah “Diam di dalam dan jangan membantah!, aku akan kembali, aku janji”.
            Itulah kebohongan dia yang terakhir, kebohongan yang sangat ingin aku buang dari kepalaku ini. Kenapa dia berbohong kepadaku?, kepada seorang anak yang saat itu sangat mengagumi dirinya?. Hingga 20 tahun ia masih saja mempertahankan kebohongannya itu, janjinya itu. Ia memang seorang pembohong yang ulung.
            Kenapa di tengah malam seperti ini aku selalu mengingatnya, kenapa aku tidak bisa mengingat yang lain?, ya, seperti ibuku. Ibuku adalah hal terbaik yang pernah aku miliki, ia baik dan cantik. Dia, karena dialah aku dan ibu menderita. Yang ibuku tidak bisa berucap lagi ketika mendengar dentuman senapan yang membunuhnya, yang menguncang, sangat menguncang hatinya. Masa mudaku kuhabiskan untuk merawat ibuku, yang hanya bisa diam membisu disudut tempat tidur. Ahad petang, hari kesembilan belas di bulan agustus ibuku meninggal, meninggal dengan tatapan kosong tanpa berkata apapun.
            Ibuku, Satu – satunya harapanku, cahayaku untuk menjalani hidup di tengah perang yang busuk ini.
            “Ini semua salahnya, yang meninggalkan kita, yang membuat ibu menderita” kataku dahulu saat menguburkan ibu di kebon belakang rumah. Ku salahkan semua kepadanya. Dia, dia yang selalu ku kutuk dalam hatiku.
***
            Dimalam itu aku merenung, merenung kisah hidupku sembari menghangatkan diri di dekat api unggun. Tapi tiba – tiba tertegun aku, menatap tajam kearahnya.
            “Untuk apa seorang anak kecil tengah malam begini?, ditengah hutan?” Pikirku dalam hati.
            Belum keluar kalimat dari mulutku ia berkata, “Tolong tuan, aku tersesat, aku harus ke Batavia”.
            Gila kataku dalam hati, seorang anak menyusuri hutan banten di tengah malam untuk menuju Batavia, seorang diri!!.
            Aku memang bukan orang baik tapi aku juga manusia yang akan iba melihat anak yang kedinginan, tanpa alas kaki, yang memegang sebilah belati yang untuk apa seorang bocah memegangnya. Langsung ku sodorkan daging burung panggang dari api unggun yang aku dapat hasil berburu di hutan tadi. “Makanlah, duduk tenang dan makanlah dulu!”.
            Bocah itu sekitar 6 – 8 tahun, angka yang terhitung gila untuk seorang yang berkelana hanya ditemani sebilah belati. Aku bahkan tak bisa membayangkan seberapa bodoh dan gilanya anak ini.
            “Untuk apa kau ke Batavia?” Kata ku mencoba mengorek informasi.
            “I-iya tuan, aku Mahardhika”, katanya terbata – bata karena berbicara sambil makan
            “Aku tidak tanya namamu!, untuk apa kau ke Batavia?”
            “Ibuku dikampung meninggal, aku seorang diri, Aku akan mencari ayahku di Batavia” Tuturnya. “Tolong, tolong antarkan aku ke Batavia” pintanya padaku.
            “Kenapa apa ayahmu di Batavia”
            “Dia seorang tentara!”, katanya penuh semangat.
            “Cih!, aku benci tentara, sangat benci tentara. Tidurlah disini malam ini, kau bisa mati atau pergi kemana pun besok”  tuturku, aku memang sangat benci tentara, karena dia juga adalah seorang tentara.
            “Tapi tuan, tolong aku, Aku bisa mati”
            “Kau tidak akan mati, bodoh!. Kau kan ingin jadi tentara yang bodoh itu” Kataku kesal.
            “Tapi tuan….”
            “Kubilang tidur!!” Bentak ku “Istirahatlah, besok kita akan ke Batavia.”
            “Te-terimakasih tuan!” Katanya girang.
            “Sekarang tidur, besok kita akan carikan sepatu untukmu, atau kau akan bertemu ayahmu dengan kaki yang bengkak.”
            Setelah itu ia tertidur sangat pulas, seakan ia hidup hanya untuk tidur malam itu.
***
            Lereng cisauk, itulah jalan tercepat menuju Batavia. Dengan menyusuri sepanjang aliran sungai kau akan menemukan desa kibumi dan dari sana kita bisa menumpang oto hingga ke Batavia.
             Sepanjang perjalanan bocah bodoh itu tidak bisa tutup mulut, ia selalu bercerita tentang kampungnya, ayahnya, dan impian bodohnya untuk menjadi tentara. Bercerita hinnga aku tau seluk beluk hidupnya.  Aku tak habis pikir untuk apa ingin jadi tentara, ingin menjadi orang yang akan mati.
            Entah kemana rasa canggungnya tadi malam, entah apa isi kepala kecilnya itu, ia terus saja bercerita sembari memainkan belatinya yang membuatku kesal, ditambah desas desus akan adanya penyerangan Belanda ke desa kibumi, yang membuatku lebih kesal lagi.
            “Hey bocah, ayahmu mungkin sudah mati di Batavia” kataku.
            “Tentu saja tidak!!” Katanya yakin, “Dia berjanji akan terus hidup!!”
            “Bagaimana kalau dia berbohong, Kenapa kau begitu yakin dia masih hidup?”
            “KARENA DIA AYAHKU!!” katanya tegas, lebih tegas dari baja, lebih tegas dari apapun yang telah aku lihat di dunia ini.
            Aku hanya tertegun diam mendengar jawabannya, jawabannya bodohnya. Aku benci anak ini, bukan karena ia yang ingin jadi tentara bukan pula karena kebodohannya yang tidak bisa diukur, tapi karena ia sangat mirip denganku, denganku yang dulu.
            “Bagaimana jika ia benar – benar mati?” Tanyaku lagi yang kesal dibuatnya.
            “Dia tidak akan mati!” Jawabnya seperti anak kecil, “Tidak akan!”
            “Bagaimana jika itu benar, bagaimana jika ia mati tepat di depan mu, mati melindungi mu?”
            “Maka, aku akan hidup untuk menghormati pengorbanannya, hidup untuk menghidupi mimpi – mimpinya, hidup dengan tanpa penyesalan untuknya!!!” Kembali jawabnya tegas, bahkan lebih tegas dari yang tadi.
            Jawaban yang lebih tegas lebih menusuk hatiku. Dengan jawaban itu sekali lagi ia menunjukan betapa bodohnya dia, sekali lagi ia menambah kebencianku padanya, sekali lagi, ia menyentuh hatiku.
***
            Sampailah kita, desa kibumi. Perutku memang pengertian, ia baru berbunyi setelah kita sampai di pusat desa.
            “Kita istirahat sekalian makan”. Kataku sambil menuju sebuah rumah makan, bocah itu hanya mengangguk. Kami masuk pun langsung duduk.
            “Berapa makanan untuk dua orang?” Tanyaku pada pelayan.
            “50 gulden tuan” jawabnya
            “Sial, mahal sekali!. Aku hanya punya 20, berikan bocah ini makanan dan setidaknya beri aku segelas air”
            Saat sedang asik menyantap makanan, ah maksudku saat sedang asik minum air, jamuanku terganggu saat orang itu berlari sambil berteriak “Kabur!!, Belanda datang, Belanda datang!!!” diikuti dengan serentetan tembakan, tak ayal seluruh isi rumah makan kalang kabut.
            “Sembunyi nak!!” Perintahku, ia pun menurut. Kembali terdengar suara tembakan diikuti dengan dua buah truk yang membawa lebih dari 20 serdadu Belanda lengkap dengan berbagai macam mainannya.
            Heh, karena kekacauan ini bisa saja makan dengan gratis walaupun harus berurusan dengan Belanda sialan itu. Kulihat pintu dan masuklah seorang sambil membabi buta. Entah apa yang membuat kebodohannya bangkit dan terpanggil, bukannya takut bocah itu malah menyiapkan belati seakan ia akan menikam serdadu itu.
            “Hey, Bocah!” Bisik ku “Cepat berikan belati mu!”
            “Tapi….”
            “Cepat berikan!!”. Ia pun memberikannya kepadaku. dengan cepat aku mengendap – ngendap, lalu crott!! Belati itu bersarang dilehernya. Kurebut senjatanya lalu mengila.
            “Semua, cepat kabur!!”. Berhamburan orang lari menyelamatkan diri mereka tetapi tidak dengan bocah bodoh itu yang malah kagum.
            “Bodoh!!, Cepat lari”, ia pun lari dengan setelah ku tatap matanya dalam – dalam.
            Kadang aku membeci diriku. Aku yang membenci tentara ini malah terampil menggunakan pisau dan senjata api. Itu semua karena tentara bodoh itu yang mengajarkan keahliannya padaku sedari kecil. Bahkan ia bilang aku berbakat. Entah apa pikiranku saat kecil yang girang bukan main mendengarnya. Lalu tanpa kusadari 8 orang sedadu telah tegeletak. Dengan darah berceceran dan selonsong senapan ditanganku lengkap dengan amunisi.
            “Tampaknya aku terkepung” Pikirku dalam hati.
            Dan memang benar, tampaknya 1 pleton telah siaga diluar dengan senapan yang pelurunya  siap menjilati tubuhku kapan saja.
            “Dood Hem!!!” Kata seorang Belanda dengan lantang yang tak’ku mengerti, mungkin saja ia menyuruh anak buahnya memisahkan kepalaku dari tubuhku. Setelah itu tak terhitung berapa peluru yang telah ditembakan, aku pun hanya bisa diam dan berlindung.
            Pupus sudah harapanku, saat melihat sebuah truk yang lebih besar datang dari kejauhan, dari arah para warga desa lari. Sudah tak peduli aku pada nyawa ini.
            “Aaaaaaa!!!, mati kau Belanda sial!!”  kataku sambil berlari keluar dan membabi buta. Tiba – tiba timah panas itu menyengatku, bersarang di dadaku hingga tak dapat ku pertahankan kesadaranku.
            Jatuh ku terkapar, berkunang – kunang mataku. Tampak kurang jelas para serdadu yang baru sampai itu keluar dan menyerbu warga desa. Ini, inilah akhirnya.
***
            “Tuan…” Samar – samar terdengar suara anak bodoh itu “Tuan…bangun, kita selamat!”
            “A-apa yang terjadi?” saat sadar kenapa yang pertama kali ku lihat adalah wajah bocah bodoh ini, dengan air mata yang membanjiri wajahnya.
            “Tuan, ini ayahku. Ia datang menyelamatkan kita, ki-kita berwaausil…!, teuwrimaasih…” tidak jelas apa yang dia katakan dengan wajah bodoh penuh air mata itu. Ku lihat pula orang tua, seumuranku yang wajahnya mirip bocah itu. Tampaknya truk yang tadi kulihat membawa tentara yang dikirim kesini karena rencana penyerangan Belanda telah bocor.
            “Syukurlah, uhk- uhk”
            ‘Tuan, kau tidak apa – apa, kau…. Kau berdarah!!” tampaknya batuk darah ini adalah bukti bahwa ini memang akhirnya.
            “inilah akhirku, bocah”
            “Tidak tuan, tidak. Jangan mati!” tak kuasa aku menatap matanya, menatap wajah bodohnya.
            “Bocah, tidak Mahardhika. Dengarkan aku, kau akan jadi tentara, uhkk, tentara yang hebat, seorang jendral, dan aku percaya itu” sambil melihatku terbatuk – batuk ia menangis. “Nanti, masih banyak hal yang buruk yang akan kau alami. Tapi ingatlah, jangan biarkan siapapun bahkan dunia ini membuatmu menjadi seorang yang tidak kau inginkan..”
            “Kenapa..? kenapa tuan lakukan ini? Kenapa untukku? Kepada seorang yang baru saja kau temui”
            “Kau bocah bodoh, kau meyadarkanku, kau sentuh hatiku, kau selamatkan aku, aku tidak menyesal, a-aku tidak menyesal”
            “Tidak tuan…. Tidak”, wajahnya masih saja mencerminkan kesedihan.
            “, bagaimana jika aku mati didepanmu?, mati melindungi mu?” tanyaku padanya.
            “Tuan…tidak, jangan mati”
            “Mahardhika. Bagaimana, jika aku mati didepanmu?, mati melindungi mu?”
            “kumohon, tuan… jangan”
            “Jawablah Mahardhika!!”
            “Ak-aku akan..” berat sekali mulutnya berucap seakan kesedihan sedang menyiksanya.
            “Jawablah dengan tegas, Mahardhika!”
            “Aku akan hidup, hidup untuk menghormati pengorbananmu, hidup untuk menghidupi mimpi – mimpimu, hidup….” Tak kuasa dia melanjutkan kalimatnya.
            “Lanjutkan, Mahardhika!!”
            “Hidup tanpa penyesalan.., hidup tanpa penyesalan untukmu!!!”
            “heh, Kalau begitu jangan menangis, karena kau adalah seorang tentara!!”
***

            Sayang sekali aku tidak hidup cukup lama untuk melihat wajah bodohnya saat ia menangisi kematianku. Tak pernah ku pikirkan, kebahagian dan kebanggaan mati sebagai seorang tentara. Tak pernah ku pikirkan, untuk berterimakasih pada tentara bodoh itu, yang kukira ia pecundang, yang ia telah menyelamatkanku, mendidikku, mengasihiku. Kini di kematianku aku mengerti. Kebangganmu saat mati, kebanggaanmu menjadi seorang tentara, Ayah…

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe