08. CHOIRUNISA AMALIA - JURNALKU

04.53

Sore ini aku kembali duduk di teras rumahku untuk membolak-balikkan setumpuk kertas berisi kumpulan jurnalku yang sudah terjilid rapi. Sambil menyeruput segelas kopi yang ketiga untuk hari ini, aku terus membaca dan  menelaah inci demi inci lembaran-lembaran dalam tumpukan tebal itu. Aku pikir ini sudah cukup bagus jika dipublikasikan.
            “Apa yang akan kau lakukan dengan tumpukan kertas tak berharga itu? Kau terus saja membacanya berulang-ulang tanpa pernah melakukan suatu perkembangan sedikitpun. Kalau aku jadi kau, sudah aku bakar kertas-kertas itu dan beralih mencari kesibukan baru yang lebih menyenangkan.”
            Kalimat-kalimat itu kembali terngiang dalam benakku. Dahulu, gadis yang tinggal berseberangan dengan rumahku itu sering melontarkan kata-kata pedasnya kepadaku tanpa pernah berpikir kalau aku bisa saja bunuh diri karena perkataannya. Namun beruntungnya, sampai saat ini aku tidak pernah berpikir untuk bunuh diri hanya karena sakit hati atas ucapannya.
            Tak terasa, langit semakin menjingga dan jarum pendek pada arlojiku sudah menunjuk ke angka lima, anak kecil yang tinggal di bekas rumah gadis yang dulu suka melontarkan kata - kata pedas kepadaku datang dengan berjalan layaknya anak kecil yang berumur 12 tahun. Kali ini ia bersama dengan  teman-teman prianya yang sepertinya umurnya jauh lebih tua darinya. Aku terus memerhatikan hingga mereka semua masuk ke dalam rumah itu.
***
Keesokan harinya, aku bangun dan segera membuka jendela kamarku agar matahari dapat leluasa memancarkan sinarnya. Alangkah kagetnya aku, dari balik jendela kamarku terlihat rumah anak kecil itu sudah hangus terbakar. Aku melihat banyak mobil polisi yang sepertinya sedang melacak penyebab terjadinya kebakaran itu.
            Setelah mandi dan bersiap-siap, tadinya aku berniat untuk bertanya kepada polisi, tetapi aku urungkan niatku tersebut karena ternyata matahari sudah semakin meninggi. Aku segera masuk ke mobil lalu memacu mobilku agar bisa sampai di kantor tepat pada waktunya.
Tiba di kantor, aku langsung mengambil jatah koran harianku yang dibagikan oleh rekanku, Arini yang umurnya delapan tahun lebih tua dariku namun masih sangat cantik.“Terima kasih ya!” kataku setengah berteriak kepadanya. Ia hanya menengokkan kepalanya sambil tersenyum ke arahku. Aku tidak berniat untuk membaca koran itu, namun berita di halaman awal tentang kejadian kebakaran di Jalan Nagoya 3 alias kebakaran di rumah anak kecil itu memancing perhatianku.
Selepas itu, seharian aku disibukkan dengan segala urusan pekerjaan. Sampai ketika petang datang dan memaksaku untuk menyudahi aktivitas di kantor hari ini. Aku menuju ke area tempat dimana mobilku diparkir dan bergegas untuk pulang.
            Jalan menuju  rumahku  pada malam hari hanya diterangi oleh lampu jalan yang hampir seluruhnya redup, membuatku harus ekstra hati-hati. Ketika aku tiba di pertigaan Jalan Nagoya dengan Jalan Kambuna, terlihat sosok anak kecil yang rumahnya terbakar tadi pagi. Ia tampak melambaikan tangannya ke arah mobilku.
            Setelah aku hampiri, ternyata ia membutuhkan tumpangan. Segera aku bolehkan ia masuk. Dalam hitungan detik, wangi tubuhnya langsung memenuhi udara di dalam  mobilku yang cukup pengap ini. Namun aku suka dengan wanginya. Wangi yang sepertinya sering aku cium dahulu. Cukup lama kami diam, hingga aku mencoba memecah kesunyian ini.
            “Omong-omong, apa yang terjadi pada rumahmu?”
            Ia menatapku heran seolah tidak mengerti apa yang aku bicarakan barusan. “Maaf, apakah kamu mengerti maksudku?” tanyaku lagi.
            “Iya, Om aku mengerti. Tetapi mengapa kau  menanyakan hal itu? Rumahku baik-baik saja dan sebentar lagi kita akan sampai,” ujarnya sambil menunjuk ke arah depan.
            Aku kaget bukan main. Rumahnya memang tidak mengalami apa-apa. Tidak hangus seperti yang tadi pagi aku lihat. Aku langsung menepi untuk menurunkannya di depan rumahnya. Segera aku buang jauh-jauh pikiran untuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut.
            Setelah kejadian semalam, pagi berikutnya aku memastikan kondisi rumah anak kecil itu dan yang aku dapati adalah rumahnya hangus terbakar, tidak seperti yang semalam aku lihat. Aku mulai merasakan ada suatu hal ganjil yang terjadi, akhirnya aku memutuskan untuk mengajak Arini menyelesaikan  kasus ini bersama.
            Tiba di rumah Arini, aku langsung memarkir mobilku di halaman  rumahnya. Belum sempat aku  mengucapkan salam, Arini sudah berdiri sambil bertolak pinggang di depan pintu rumahnya. Aku tersenyum  melihatnya, ia pun demikian, seakan kami berdua sudah memiliki rencana sebelumnya.
            “Mau apa?” tanya Arini dengan logatnya yang sengaja dibuat agar terdengar mirip wanita tomboi.
            “Apakah kau pikir kita bisa menyelesaikan kasus ini bersama?” tanyaku balik sambil menyodorkan halaman awal dari koran yang kemarin dibagikan olehnya. Arini langsung mengambil koran yang ada di tanganku dan kemudian membacanya. ”Jadi bagaimana, Rin?” tanyaku lagi.
            “Oke, mana kunci mobilmu? Biar aku yang menyetir.” Segera aku lemparkan kunci mobilku ke arahnya dan kami pun bergegas untuk berangkat.
            Setelah sekitar 30 menit berlalu, tibalah  kami di rumah anak kecil itu. Sekarang rumahnya benar-benar hangus dilalap si jago merah, tidak utuh seperti yang aku lihat kemarin malam.
            “Nah. Kita sampai,” kata Arini dengan nada datar seperti biasa ia berbicara.
            “Ya, aku tahu. Tidakkah kau tahu  kalau  rumahku di seberang situ?”Arini tampak kaget mendengar  perkataanku  barusan. Ia segera membuang  jauh pandangannya ke luar kaca jendela mobilku. Aku terus memerhatikan apa yang ia lakukan dan memikirkan alasan mengapa ia melakukan hal demikian.
            Kami berdua turun dari mobil kemudian bergegas menyusuri rumah yang sebagian besarnya sudah hangus ini. Ketika sampai di ruang tengah, Arini meminta izin untuk menyelidiki sudut lain dari rumah ini. Aku segera membolehkannya karena aku rasa itu bagus untuk mempercepat proses penyelidikan.
Aku tiba di ruangan yang menuju ruang bawah tanah. Disini tampak gelap dan bau hangus masih dapat tercium. Begitu aku hendak menyalakan senter melalui ponselku, Arini terdengar seperti memanggil-manggil namaku. Aku segera berlari untuk menghampirinya, namun ketika aku berbalik, ada sebuah peti besar jatuh di belakang punggungku. Betapa terkejutnya aku  melihat di dalamnya terdapat sebuah mayat yang sudah hampir menjadi tengkorak seutuhnya.
            “Adit, apa yang sedang kau lak…” kata-kata Arini terhenti ketika ia melihat aku beserta peti yang ternyata berisi mayat. Ia tampak berusaha menutup mulutnya yang ternganga akibat itu. “Adit, sebaiknya kita pergi dari sini. Ayo cepat!”
            “Kenapa? Aku belum mencatat ciri-cirinya, bahkan aku belum mengambil gambar ini untuk aku jadikan barang bukti.”
            “Kau ini bodoh atau apa? Kalau polisi tahu kita disini dengan mayat ini, kita bisa ditanyai macam-macam. Aku tidak ingin terkena masalah hanya karena hal bodoh seperti ini.”
            “Baiklah, ayo kita pergi. Kali ini aku yang menyetir, oke?” Arini tidak merespons apa yang aku katakan dan langsung menyerahkan kunci mobilku.
            Ketika kami sampai di rumah Arini, Arini langsung  pamit dan berlalu begitu saja. Aku pun hanya bisa memandanginya dari jauh. Baru saja aku  hendak menarik tuas mobilku, aku menemukan sebuah buku catatan yang sudah usang di tempat duduk Arini. Tadinya aku berniat untuk memberitahu Arini akan hal itu, tetapi setelah aku perhatikan sampul buku itu baik-baik, aku mengurungkan niat untuk memberitahunya sekarang. Aku langsung memacu mobilku dengan cepat agar bisa segera sampai ke rumah dan mengetahui isi buku usang itu.
            Sesampainya di rumah, aku langsung mengambil buku usang itu, kemudian mulai memerhatikan tampilan luar buku itu dengan sedetail mungkin.  Aku dapat mengambil kesimpulan bahwa Arini pasti mendapatkan buku ini dari rumah anak kecil itu. Setelah aku membuka buku itu, betapa tak menyangka aku melihat di balik sampul buku itu terdapat tulisan “Diary of Arini Nursasti” P.s. Gadis malang yang tak pernah dipedulikan siapapun.
Sulit sekali untuk membaca tulisan-tulisan di buku yang sudah hampir terbakar ini. Akhirnya, aku  hanya membolak-balikkan  buku itu berharap menemukan ada satu halaman yang masih utuh. Sesampainya aku di bagian pertengahan buku, aku  mendapati tulisan yang dituliskan dengan tinta merah dan masih dapat terbaca dengan jelas.
Dear, Diary
Aku sedang merencanakan sesuatu
Aku tahu ini jahat. Tapi siapa peduli? Semua orang telah berbuat jahat kepadaku. Sekarang giliran aku untuk berlaku seperti ini kepada mereka. Sudah lama aku membencinya. Ia adalah sosok yang sering dibilang oleh ibuku kalau ia adalah adik tiriku. Tetapi ku rasa ia adalah sosok makhluk jahat yang melakukan penyamaran sebagai sosok malaikat. Ia iblis, kau harus tahu itu. Dulu aku sering melihatnya bermain dengan teman sebayanya yang tinggal di rumah tepat sekali di seberang rumah ini. Lelaki itu tampak menarik bagiku. Tetapi iblis itu seringkali membuat lelaki menarik itu bersedih. Iblis itu sering melontarkan kata-kata pedas kepadanya. Sayang sekali waktu itu aku tak bisa keluar untuk sekadar menghibur lelaki itu atau bahkan untuk tahu namanya. Iblis itu selalu menghalangiku. Ia pasti sudah terlebih dahulu ke tempat lelaki itu sebelum aku pulang sekolah dan punya waktu untuk bermain. Tidak mungkin kalau kita bermain bertiga. Aku tidak pernah sudi bermain dengan iblis.
Hari ini hari kepulanganku yang bertepatan dengan hari ulang tahun si iblis yang ke-12. Ibu menjemputku di bandara bersama dengan kedua iblisnya. Si iblis besar sangat memuakkan. Ia berpura-pura menyayangiku agar dapat perhatian dari ibu. Sedangkan si iblis kecil memakai kedok malaikatnya lagi. Ia memberiku bingikisan sebagai tanda cinta darinya, katanya.
AKU TAK BISA MEMBAYANGKAN AKAN TINGGAL SERUMAH DENGAN IBLIS INI SELAMA 1 TAHUN KE DEPAN
Aku harus tinggal disini sambil menunggu hasil pengumuman kelulusan tes yang aku ikuti di salah satu sekolah  tinggi terkemuka  di ibu kota. Aku tidak bisa bertahan dalam keadaan ini. Aku tidak betah berlama-lama menatap muka jelek iblis-iblis itu. Aku punya rencana,
BAGAIMANA JIKA AKU MEMBUNUH KEDUA-DUANYA?
Daripada aku harus seperti ini terus menerus, apalagi ditambah melihat betapa jalangnya si iblis kecil mengajak pria-pria yang berusia jauh lebih tua darinya untuk masuk ke kamar dalam perayaan ulang tahunnya  yang ke-12. Nanti kalau sudah aku bunuh ia, baru aku beri tahu ibu kalau kita harus pergi dan tak kembali lagi ke kota ini.
Aku hampir kehabisan  napas membaca ini semua. Hingga baru menyadari kalau ternyata di balik halaman itu ada sebuah tulisan yang ditulis dengan cara diukir menggunakan pisau.
DIA SUDAH MATI
AKU PUAS
DUA IBLIS ITU MATI DAN AKU SIMPAN MAYATNYA DI RUANG BAWAH TANAH
SEKARANG WAKTUNYA PERGI DARI KOTA INI SELAMANYA
Ada banyak pertanyaan-pertanyaan timbul dalam benakku setelah membaca ini semua. Begitu aku sedang memikirkannya, tiba-tiba ada suara ketukan dari balik pintu rumahku. Segera aku bergegas untuk membukanya.
“Arini, ada apa?”
Tanpa berkata apapun, ia segera menerobos masuk ke rumahku. Aku sangat heran memerhatikan gerak-geriknya yang nampak seperti orang yang panik. Aku mengikutinya terus, lalu aku lihat ia menemukan buku usang itu.
“Arini, maaf aku tidak sempat mengembalikan buku itu padamu kemarin,” kataku mencoba untuk menjelaskan.
Arini membalikkan tubuhnya, kemudian menodongkan sebuah pisau ke arahku. Mataku terbelalak tak percaya.
“Kau berencana membuat kasus tentangku, tapi kau gagal karena aku yang akan membuat kasus tentangmu terlebih dahulu,” katanya sambil menyeringai.
“Tidak, jangan Rin. Tidaaak!”                        

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe