12. FARRELL JEREMIAH HERMANTO - DUKA RAKA
04.50
Hujan masih
turun dengan deras, tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan berhenti. Aku masih
bersembunyi di bawah selimut, mungkin sedang berkaca-kaca, atau mungkin sudah
berlinang air mata, aku tidak tahu lagi. Angin di AC terus berhembus
mendinginkan badanku yang sudah berlapis selimut. Hanya lampu tidur yang
remang-remang yang menemani rasa sakit di dada ini. Tidak, aku tidak terkena
penyakit fisik. Namun, secara perasaan, aku mungkin sudah sekarat.
Membayangkannya,
senyumnya, lesung pipitnya, rambutnya, semuanya berpadu sungguh manis, manis
yang memilukan. Apa yang dapat kulakukan sekarang? Kini dia telah pergi, aku
bisa apa?
Aku ingat sekali
saat itu, 6 bulan yang lalu, aku masih terpuruk dalam kesedihan, di saat
mantanku mencampakkan aku untuk laki-laki lain. Waktu itu, aku masih sangat
menyayangi mantanku itu. Walaupun aku seorang laki-laki, aku senang mencurahkan
isi hatiku kepada salah seorang temanku bernama Dewi. “Rak, ada apa? Kamu masih
memikirkan Aida?” tanyanya padaku. “ Entahlah Dew, aku hanya tidak bisa
melupakannya,” balasku. Lalu Dewi menepuk pundakku, “Masalah melupakan Aida,
aku tidak ingin ikut campur. Tapi aku tidak mau kamu terlarut dalam kesedihan
terus menerus seperti ini,” dia tersenyum kepadaku. Dia melihatku dengan
matanya yang berbinar, rambutnya yang tergerai sepundak menghiasi dirinya.
“Dew, kamu
jangan kemana-mana ya,” pintaku.
“Maksudmu?”
“Kamu adalah teman yang terbaik.”
“Terima kasih ya Rak,” dia melirik ke bawah tanda tersipu malu.
“Maksudmu?”
“Kamu adalah teman yang terbaik.”
“Terima kasih ya Rak,” dia melirik ke bawah tanda tersipu malu.
Selama beberapa
minggu setelah aku putus dengan mantanku, aku sering jalan-jalan bersama Dewi,
dia bagaikan obat bagi luka di hatiku ini. Aku mulai memiliki rasa pada Dewi,
pada dirinya yang ceria, penghibur, dan sangat ramah. Dia selalu membuatku
terkagum. Dia sangat dermawan dan juga taat beribadah, aku akui dia tidak
secantik Aida, namun dia sangat manis, dan kepribadiannya jauh lebih baik
daripada Aida.
Aku dan Dewi pun
saling curhat, suatu hari dia bercerita, dia sedang menyukai seorang laki-laki,
yang secara otomatis membuatku aku terkejut dan penasaran, setelah dirahasiakan
cukup lama olehnya, akhirnya dia mengakuinya, dia menyukai teman sebangkuku
bernama Yeremia. Di satu sisi aku sedih, karena aku sudah sangat menyukai Dewi,
namun pada sisi lainnya aku merasa aku akan turut senang apabila Dewi senang.
Bagiku, yang terpenting sekarang adalah kebahagiaan Dewi.
Akhirnya pun,
hari yang sangat aku tidak inginkan pun tiba, Dewi akhirnya berpacaran dengan
Yeremia. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, pernah aku mencoba berkomunikasi
kepada Dewi, namun aku kepergok oleh Yeremia. Aku pun diancam agar tidak mendekati
Dewi lagi, apabila aku mencoba mendekati Dewi lagi, aku tidak akan diberi ampun
lagi, dalam arti lain, aku akan bonyok. Yah begitulah nasib orang yang badannya
agak kecil.
Aku pun mulai
menjauhi Dewi, walaupun rasanya sungguh tak nyaman. Namun apa yang dapat
kuperbuat? Aku hanya berdoa agar Dewi terus berbahagia, walaupun itu artinya
untuk tidak bersamaku. Apakah hatiku tak bisa menjadi rumah bagi gadis manapun?
Jika aku harus melihat dari sisi positifnya, setidaknya kini aku bisa fokus
belajar.
2 bulan
kemudian, Dewi mengunjungi rumahku, dia menangis terisak-isak, aku pun yang
baru selesai mandi sore langsung mengenakan bajuku lalu menghampirinya, aku
terkaget, apa yang telah terjadi? Dewi pun seketika memelukku, ia menangis di
pundakku. Tangisannya terdengar sangat menyedihkan, seperti tangisan anak kecil
yang tidak mendapatkan mainan yang diinginkannya. Aku kembali memeluknya sambil
membelai rambutnya, berusaha menenangkannya. Ternyata, Yeremia telah memiliki
gadis lain. Dia merasa sangat dikecewakan. Aku pun mengajaknya berjalan-jalan
di sore itu untuk menenangkannya, walaupun matanya masih bengkak karena
menangis, tapi setidaknya tangisannya sudah berhenti. Aku mengajaknya makan
jagung bakar, lalu dia pun kembali bercerita tentang kekecewaannya terhadap
Yeremia. Dia mengira, Yeremia adalah lelaki yang baik. Yah, dari pengalaman
aku, aku tidak bisa setuju dengannya, namun aku pura-pura setuju dan terus
mendngarkannya bercerita.
Hari mulai
malam, aku mengantarnya kembali ke rumahnya yang kebetulan hanya beda 2 blok
dari rumahku. Kita saling mengucapkan selamat tinggal, aku pun kembali ke rumah
dengan rasa riang gembira, karena Dewi kini telah putus, dan aku berniat untuk
mengejarnya lagi.
Menurutku
usahaku cukup baik, hingga akhirnya beberapa minggu kemudian, aku menembak
Dewi, dan syukurlah hasilnya positif, aku diterima. Aku langsung mengubah
status ku di media sosial dan dengan
bangga menaruh nama Dewi di media sosialku.
Hubunganku
dengannya berjalan sangat baik dengannya, dia sangat memberi semangat bagiku
untuk belajar, beribadah, dia memberikan dampak positif besar bagi hidupku,
terkadang aku berpikir, mungkin dialah jodohku. Kita saling menyayangi dan
merawat satu sama lain, aku sering membuatnya menangis, menangis bahagia,
mungkin karena aku adalah orang yang romantis. Yah, setidaknya kata Dewi aku
romantis.
Namun, pada
suatu hari, Dewi tidak masuk sekolah, dan anehnya lagi, dia tidak menitip pesan
atau surat padaku utuk diberikan pda guru. Sepulang sekolah, aku pun segera
pergi ke rumahnya, namun rumahnya dikunci, aku berpikir mungkin Dewi sedang
bepergian dengan keluarganya dan tidak memberitahuku.
Keesokan
paginya, hari Sabtu, sekolahku libur, aku pun berniat untuk mengecek rumah Dewi
Dan rumahnya masih di gembok, aku pun mulai khawatir, aku mulai berusaha
menelepon Dewi, SMS, LINE, BBM dan lain-lain, sayangnya tidak ada yang diangkat
atau dibalas, aku sangat khawatir, aku tidak bisa berubat apa-apa, aku tidak
selera makan, aku tidak tenang, aku ingin tahu apa yang terjadi pada Dewi.
Lalu, pada hari
Minggu, pintu gembok rumahnya sudah terbuka, aku pun segera mengetok pintu
pagarnya. Lalu, aku terkejut setengah mati, ternyata yang keluar addalah orang
lain, buakn anggota keluarga Dewi, lalu setelah aku bertanya, ternyata rumah
Dewi sudah dijual. Hatiku patah, sangat sakit sekali rasanya dia pergi tanpa
mengucapkan sepatah kata pun, aku hamper membencinya. Aku pun pergi ke rumah
bibinya, kebetulan aku juga kenal dengan bibinya. “Raka, Dewi terkena ALS Rak.
Kamu harus bersabar ya,” aku semakin terkejut, aku sudah tidak tahu apalagi
yang bisa lebih buruk dari ini. Jadi selama ini, ternyata ayah dan ibu
Dewi menjual rumahnya untuk biaya
pengobatan Dewi. Akhirnya pun, sekitar satu bulan, hidupku kosong dan hampa.
Lalu, aku
mendapatkan sebuah telepon, ternyata itu adalah ibunya Dewi, dia meminta maafa
atas kepergian keluarganya yang mendadak, lalu ibu Dewi menjelaskan situasinya.
Aku pun kini
mengetahui apa hal yang lebih buruk lagi. Umur Dewi hanya tersisa 2 minggu, dan
sebelum dia meninggalkanku, dia ingin bermain ke rumahku. Aku sambil menahan
tangis menutup telepon itu. Esoknya, Dewi datang dengan memakai kursi roda,
hanpir seluruh bagian badannya lumpuh. “Ma…. Af…… Arr.. Rah…. Kakkh…” dia
berusaha begitu keras untuk berbicara. Aku hanya bisa menangis sambil
memeluknya, mengetahui dia akan meninggalkan aku untuk selamanya. Senyumnya
yang indah, tergantikan oleh wajah datarnya yang menurutku 50% sudah mati rasa,
aku sangat merasa sedh dan terpuruk saat itu. Aku merasa, inilah akhir dari
semuanya. Akhirnya, Dewi hendak kembali ke rumah sakit, aku hanya bisa berlutut
dan memeluknya erat sambil menangis di bahunya, sama seperti duu dia memeluk
aku erat dan menangis di bahuku, dan lihatlah, tangan kirinya pun dengan susah
payah berusaha membelai rambutku. Aku pun mengucapkan selamat tinggal padanya.
Tepat 2 minggu
kemudian, aku mendapat telepon, Dewi sudah tiada. Aku hanya bisa menangis, dan
tidak bisa berbuat apa-apa. Di sore hari, aku berjalan melewati depan rumahnya
yang dulu, lalu aku melewati tempat kami memakan jagung bakar, aku mengenang
semua masaku bersamanya. Tidak lama, rintik hujan pun turun. Pertanda musim
penghujan akan segera tiba. Aku pun segera kembali ke rumah lalu mengurung
diriku.
Esok harinya,
aku pun kembali berseolah seperti biasa. Teman-teman membantu menggalang dana
untuk Dewi, dan berita duka terus-menerus menyebar dengan cepat.
Yah, aku rasa
inilah akhir dari kisah cintaku yang indah. Tak selamanya kisah indah, berakhir
indah yah.
0 komentar