31. TEDDY AVRILLIANDY - KARENA AKU DAN KAMU SATU
02.15
Aku membuka pintu rumah
kontrakanku yang diketuk dari luar. “Selamat ulang tahun, maaf terlambat.” Kata
seseorang yang berada di hadapanku seraya menyerahkan kado yang dibawanya. Aku
terkejut, mematung sesaat, mataku melotot tak percaya, namun segera aku
menyadarkan diri. Aku mengambil kado yang dari tadi ia sodorkan kepadaku. “Terima
kasih.” Jawabku singkat.
Kami sedang duduk di teras depan rumahku, saling diam, tanpa bicara sepatah kata pun, suasana kikuk tercipta karenanya. Dingin karena aura yang ia bawa dan hening karena saat itu aku merasa hanya ada aku dan dia di bumi ini. “Apa kabar?” Akhirnya ia membuka percakapan. “Baik, kamu?” Jawabku. Ia membalas “Baik juga.” Aku tersenyum mendengar jawabannya. Namun aku hanya menunduk atau sesekali menatap lurus ke depan. Nyaliku terlalu kerdil untuk menoleh apalagi menatap mata lelaki yang duduk bersampingan denganku ini. “Aku harus pulang, ada kuliah siang ini, nanti akan ku hubungi lagi. Boleh minta nomor ponselmu?” Katanya sambil berdiri. Aku ikut berdiri, “Iya.” Kataku sambil mendektikan nomor ponsel yang ku hafal di luar kepala. “Hati–hati.” Kataku seraya mengiringi langkahnya ke luar dari teras rumahku. Dia hanya tersenyum dan mengangguk sambil menyalakan sepeda motornya dan berlalu pergi. Sesaat saja sepeda motor matic berwarna putih itu sudah tidak ada lagi dalam jarak pandangku, namun aku terus menatapnya. Sebenarnya aku masih tidak percaya orang yang baru saja ku temui itu adalah dia, tapi kado di tanganku ini adalah buktinya. Dia adalah Yeremia, orang yang ku kenal sejak 7 tahun lalu, orang pertama yang bisa membuat aku jatuh cinta, orang yang ku kenal dan ku cintai sejak aku duduk di bangku SMP hingga sekarang aku sudah kuliah, orang yang bisa membuat aku tidak bisa lari ke lain hati, orang yang paling ku rindukan selama kurang lebih 8 bulan ini, orang yang mungkin saja juga mencintai dan merindukanku, tapi yang satu ini tidak mungkin, aku tahu betul. Aku duduk di depan meja belajarku dan masih memandangi kado pemberiannya yang kuletakkan di meja belajarku. Kado itu belum ku buka, bahkan aku belum sedikit pun merobek bungkusnya. Banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku. Dari mana saja dia selama ini? Mengapa ia datang? Bagaimana ia bisa ingat ulang tahunku? Bagaimana dengan kadonya? Walaupun ini memang sudah 8 hari setelah hari ulang tahunku. Apakah karena ia ingin kembali? Apakah karena ia juga merindukanku? Ataukah ini hanya sebuah permainan? Semua pertanyaan itu muncul bergantian di kepalaku. Rasanya kepalaku terasa sakit, hatiku terasa pedih, aku merasakan mataku panas dan mulai dipenuhi air yang ingin segera ke luar, menumpah ruah. Aku menangis.
Kami sedang duduk di teras depan rumahku, saling diam, tanpa bicara sepatah kata pun, suasana kikuk tercipta karenanya. Dingin karena aura yang ia bawa dan hening karena saat itu aku merasa hanya ada aku dan dia di bumi ini. “Apa kabar?” Akhirnya ia membuka percakapan. “Baik, kamu?” Jawabku. Ia membalas “Baik juga.” Aku tersenyum mendengar jawabannya. Namun aku hanya menunduk atau sesekali menatap lurus ke depan. Nyaliku terlalu kerdil untuk menoleh apalagi menatap mata lelaki yang duduk bersampingan denganku ini. “Aku harus pulang, ada kuliah siang ini, nanti akan ku hubungi lagi. Boleh minta nomor ponselmu?” Katanya sambil berdiri. Aku ikut berdiri, “Iya.” Kataku sambil mendektikan nomor ponsel yang ku hafal di luar kepala. “Hati–hati.” Kataku seraya mengiringi langkahnya ke luar dari teras rumahku. Dia hanya tersenyum dan mengangguk sambil menyalakan sepeda motornya dan berlalu pergi. Sesaat saja sepeda motor matic berwarna putih itu sudah tidak ada lagi dalam jarak pandangku, namun aku terus menatapnya. Sebenarnya aku masih tidak percaya orang yang baru saja ku temui itu adalah dia, tapi kado di tanganku ini adalah buktinya. Dia adalah Yeremia, orang yang ku kenal sejak 7 tahun lalu, orang pertama yang bisa membuat aku jatuh cinta, orang yang ku kenal dan ku cintai sejak aku duduk di bangku SMP hingga sekarang aku sudah kuliah, orang yang bisa membuat aku tidak bisa lari ke lain hati, orang yang paling ku rindukan selama kurang lebih 8 bulan ini, orang yang mungkin saja juga mencintai dan merindukanku, tapi yang satu ini tidak mungkin, aku tahu betul. Aku duduk di depan meja belajarku dan masih memandangi kado pemberiannya yang kuletakkan di meja belajarku. Kado itu belum ku buka, bahkan aku belum sedikit pun merobek bungkusnya. Banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku. Dari mana saja dia selama ini? Mengapa ia datang? Bagaimana ia bisa ingat ulang tahunku? Bagaimana dengan kadonya? Walaupun ini memang sudah 8 hari setelah hari ulang tahunku. Apakah karena ia ingin kembali? Apakah karena ia juga merindukanku? Ataukah ini hanya sebuah permainan? Semua pertanyaan itu muncul bergantian di kepalaku. Rasanya kepalaku terasa sakit, hatiku terasa pedih, aku merasakan mataku panas dan mulai dipenuhi air yang ingin segera ke luar, menumpah ruah. Aku menangis.
Ini sudah 4 bulan sejak ia
meminta nomor ponselku tapi tak sekalipun ia menghubungiku. Padahal setiap hari
aku menunggu telpon atau sekedar sms darinya, tak ku biarkan ponselku mati
karena kehabisan baterai, tak juga sekalipun aku lengah dari ponselku. Tapi, ia
tak juga menghubungiku. Sampai akhirnya tadi malam ia mengirim sms padaku. “Ran,
besok malam datang ya. Pesta ultahku, Joe Kafe jam 8. Yeremia.” Aku membalas
pesan pendek darinya. “Iya, aku usahakan datang.” Kutekan tombol kirim di
ponselku. Aku sedang di depan cermin, memilah milih kira–kira aku harus memakai
baju apa nanti malam ke pesta Yere. Dari kaos dengan celana jins dan sepatu hak
serta flat, tas selempang kecil sampai gaun dan rok, menurutku semua tak ada
yang cocok untuk ku pakai nanti malam. Aku bingung harus bagaimana memadu
padankan pakaianku. Dan setelah satu jam lamanya berkutat di depan cermin
akhirnya rasa letih membuatku menyerah dan menjatuhkan pilihan pada gaun
panjang berwarna biru muda dengan motif bunga–bunga kecil berwarna merah muda
dengan tas kecil dan sepatu yang haknya tidak terlalu tinggi. Taksi yang tadi
sore ku pesan sudah menungguku di luar. Aku berjalan dan menaiki taksi dengan
wajah bahagia sekaligus gugup dan cemas. Bahagia dan gugup karena aku akan
bertemu dirinya dalam pesta ulang tahunnya, cemas kalau–kalau aku salah memilih
kostum. Taksi yang ku tumpangi berhenti tepat di depan Joe Kafe. Aku turun dan
memasuki kafe tetap dengan perasaan bahagia, gugup dan cemas. Aku duduk di
salah satu kursi yang di atas mejanya terdapat banyak minuman dingin serta
snack. Aku memilih minuman dingin berwarna hijau dan menikmatinya.
Aku masih celingak–celinguk
mencari sosok orang yang dari tadi belum kelihatan batang hidungnya, padahal
dia yang berulang tahun hari ini. Yang kulihat hanya para tamu, serta
orangtuanya yang juga datang. Ponselku berdering, ada panggilan masuk dari Maestra,
temanku. Aku mengabaikan telpon darinya. Tiba–tiba lampu dimatikan. Seluruh
ruangan jadi gelap, pada saat itu juga MC membuka acara. Dan sosok Yere muncul
di tengah panggung. Dia memakai kemeja berwarna merah maroon yang dilapisi jas
seperti boyband dengan celana jins berwarna hitam dan sepatu kets. Aku
tersenyum, “Ganteng.” Pikirku.
Setelah MC membuka acara dan
mempersilahkan para tamu untuk menikmati minuman dan snack yang telah
disediakan, Yere turun dan menghampiri teman–temannya yang sontak saja memberi
selamat kepadanya. Kemudian dia menghampiriku, dan aku memberinya selamat.Aku
menyodorkan kado yang isinya adalah baju rajut yang ku buat sendiri. “Selamat
ulang tahun.” Kataku. Dia tersenyum dan mengambil kado dari tanganku. “Terima
kasih.” Katanya. Aku mengangguk tanda mengiyakan. “Terima kasih juga sudah
datang.” Katanya lagi. Aku hanya tersenyum bahagia. Aku tidak sadar kalau dari
tadi di sudut kanan panggung ada seorang perempuan cantik berambut panjang
dengan gaun merah tuanya yang sedang duduk manis dan selalu memusatkan
pandangannya pada Yeremia. Ia akan tersenyum setiap kali Yere memandangnya. “Baiklah
sudah saatnya pemotongan kue ulang tahun. Yere, silahkan potong kuenya dan
berikan kepada orang yang paling kamu sayang.” Kata sang MC. Dia memotong kue
ulang tahun disaksikan oleh orangtuanya dan tamu undangan yang hadir. Potongan
pertama dia berikan kepada orangtuanya bergantian. Aku yang berada tepat
berhadapan dengan panggung bisa melihat dengan jelas kebahagiaan Arman dan
orangtuanya, Aku tersenyum. Kemudian Arman berjalan menuju sudut kanan panggung
sambil membawa piringan kecil berisi sepotong kue. Senyumku yang dari tadi
mengembang sedikit demi sedikit memudar, hingga air mukaku berubah menjadi
suram, gelap dan tanpa kehidupan ketika Yere berhenti tepat di hadapan
perempuan cantik berambut panjang itu. Arman menyuapi perempuan itu dengan
penuh kasih sayang. Para tamu undangan pun menyoraki mereka. Seketika air air
mataku jatuh. Aku tidak pernah merasa sepedih ini.
Aku ke luar dari kerumunan orang
yang sedang menikmati pesta ulang tahun Yere. Sambil terus menangis, aku duduk
di bangku tepi jalan seberang kafe. Aku terus menangis sambil berpikir dan
terus menghukum diriku sendiri. Dalam benakku aku mencaci maki diriku sendiri
karena sudah terlalu berlebihan berharap pada dirinya. Aku terlalu percaya diri
hanya karena dia datang dan memberi kado padaku 4 bulan lalu. Aku menyalahkan
diriku sendiri karena sudah bertindak bodoh terlalu mencintai dan mengharap dirinya.
Padahal kenyataannya tak sedikit pun Yere memiliki perasaan sekedar suka
padaku.
Arman menghampiriku dan duduk di
sampingku, aku menyeka air mataku. “Maaf, aku tidak bermaksud.” Katanya. Sambil
tersenyum aku menjawab “Untuk apa?” “Untuk semuanya.” Jawabnya. “Kamu tidak
salah, aku yang berlebihan.” Kataku. “Bukan maksudku, tapi…” Dia berhenti
berbicara. “Yer, lihat bulan di atas sana.” Aku menunjuk bulan yang terlihat
samar–samar. “Aku bulan itu, dan kamu… bumi.” “Maksudmu?” Tanya Arman. “Kamu
tahu, bulan dan bumi itu berbeda. Sama seperti kita. Mereka tidak berada pada
orbit yang sama.” Jawabku. Taksi yang ku pesan datang. Aku masuk ke dalam
taksi, pulang dan meninggalkan Yere. Sebelum aku menaiki taksi, aku sempat
berkata pada Arman. “Terima kasih untuk segalanya, dari awal kita SMP sampai
sekarang” Yere tertunduk.
Sekarang dia sedang mendorong
kursi roda yang ku naiki. Kami menelusuri taman yang ada di atas gedung rumah
sakit sambil menikmati angin sore itu serta pemandangan dari atas gedung. Aku
memintanya datang sebelum aku dioperasi besok. Ini adalah tahun kedua setelah
pertemuan terakhirku dengan Arman di kafe itu saat pesta ulang tahunnya. Dan
sekarang aku sedang dirawat di rumah sakit. Dokter memvonis aku terkena tumor
otak. Besok aku harus dioperasi agar tumor itu tidak semakin menyebar dan
menggerogoti seluruh jaringan sarafku. Ia masih mendorong kursi rodaku, “Yere,
bolehkah aku meminta sesuatu darimu?” Kataku. “Iya.” Jawabnya. Aku terdiam
sambil pelan–pelan berusaha mengumpulkan keberanian. “Aku tahu ini tidak
mungkin. Tapi, bisakah kau berpura–pura mencintaiku untuk satu hari ini saja?” Dia
menghentikan langkahnya sejenak, kemudian melanjutkan mendorong kursi rodaku
dan bertanya. “Mengapa kau meminta hal itu?”. Aku menarik napas dan
menghembuskannya pelan. “Aku hanya ingin merasakan bagaimana rasanya dicintai
oleh orang yang ku cintai.” Hatiku pedih, aku merasakan pipiku mulai basah
karena air mataku yang jatuh, dan seluruh wajahku dibanjiri oleh air mataku
ini. Sederhana, aku memang ingin sekali merasakan bagaimana rasanya dicintai
oleh Yere, bagaimana diperhatikan olehnya, bagaimana diperlakukan olehnya, dia
yang aku cintai. Walaupun ia hanya berpura–pura. “Sebelum semuanya terlambat.”
Lanjutku. Dia menghentikan langkahnya lagi dan duduk berjongkok di hadapanku.
Dia menatapku lekat, lalu berkata “Aku tahu kamu adalah perempuan yang kuat,
aku tahu kamu bisa, kamu bisa melewati ini semua, jadi jangan pernah lagi
mengatakan hal–hal yang membuatku cemas.” “Aku hanya lelah dengan semua ini.” Dia
menarik napas dan mengusap lembut pipiku yang basah. “Yakinlah. Bukankah selama
ini aku selalu menyakitimu? Bukankah selama itu juga kau menjadi orang yang
kuat? Bukankah ini tidak ada apa–apanya dibandingkan itu semua?” Aku terdiam
mendengar kata–katanya. Tidak ku sangka ia akan mengatakan semua itu. Ia
menarik napas, dan dengan nada yang pelan ia berkata, “Tanpa kamu minta, aku
sudah mencintaimu jauh sebelum kau mencintaiku. Sejak saat itu, sejak kita
kelas 1 SMP. Hanya saja aku terlalu egois untuk tidak mengakuinya, maaf untuk
itu semua. Dan aku tidak perlu berpura–pura mencintaimu untuk hari ini dan
seterusnya.” Aku kembali menangis, untuk pertama kalinya aku mendengar
pengakuan langsung dari Yere, orang yang kucintai. Dia kembali mengusap lembut
pipiku yang basah karena air mata.
Dokter menyatakan bahwa aku sudah
sembuh, tapi aku harus banyak istirahat. Ini adalah minggu ketiga setelah
operasiku dan setelah aku sadar dari koma selama 8 hari. Pasca operasi, aku
kehilangan ingatanku. Aku tidak bisa mengingat satu pun kejadian yang pernah ku
alami, aku tidak bisa mengingat satupun orang–orang di sekitarku, bahkan
orangtuaku sendiri aku tidak kenal, dan tentu saja Arman.
Tetapi Arman, dia selalu ada di
sampingku.
0 komentar