09. DAVITA ADRYANTI FELICIA SAMPE - TERSESAT
04.52
Kulangkahkan kakiku menyusuri hutan yang lebat,
terkadang ada suara- suara aneh tertangkap oleh indera pendengaranku, membuat bulu
kudukku merinding mendengarnya. Biasanya aku akan berlari secepat mungkin jika
sudah mendegar suara aneh tersebut, dan baru saja terdengar bunyi berisik dari semak yang ada di belakangku. Kupercepat
langkah kaki untuk menyusul Lia yang berjalan beberapa meter di depan.
“ Ada apa
Dav ?” Lia bertanya sambil mengelap peluh yang menetes dari dahinya. Aku menatap
Lia sebentar lalu berusaha menstabilkan deru nafasku yang memburu. Aku berusaha
agar terlihat baik- baik saja .
“Tidak,
tidak ada apa –a apa.” Jawabku dengan
sedikit terbata.
“ Kau
takut dengan suara barusan ya?” Tebak
Lia. Aku sedikit kaget karena Lia bisa tahu kalau aku ketakutan, padahal
sudah kusembunyikan sebisa mungkin. Oh Ayolah aku tak mau dicap penakut, aku
sudah cukup dipermalukan oleh Ravi ketika ia berhasil mebuatku berteriak
histeris hanya karena ranting pohon yang ia tepukkan ke pundakku.
“ Yah …
sedikit…” Aku berkata dengan nada pelan.
“ Kau
tahu, kurasa tadi itu suara hewan yang
bersembunyi di semak- semak.”
“ Oh ya
maksudmu seekor harimau sedang bersembunyi di semak – semak ?”
“ Bukan,
kalau dari suaranya pasti hewan kecil seperti kelinci.”
Aku
menghela nafas, Lia memang selalu berpikir positif, itu karakternya. Ia
terlihat begitu tenang walaupun kelihatannya kita sudah tersesat di tengah
hutan belantara ini. Kurasa Galang mengambil jalan yang salah saat belokan
tadi, karena itulah kita tak kunjung sampai ke tujuan.
“ Galang! Hei ! Apa kita melewati jalan yang
benar ?” Aku berteriak pada Galang yang memimpin rombongan kami. Galang
membalikkan kepalanya ke belakang kemudian ia berhenti sejenak diikuti dengan
Ravi yang berada di sampingnya.
“ Aku
sangat yakin. Tenang saja aku berjalan sesuai dengan arah yang diberikan oleh
Afif.” Galang berkata dengan penuh percaya diri. Tangannya memegang lipatan
kertas yang sudah agak kotor dengan mantap dan matanya terlihat penuh
keyakinan.
“ Ok.
Untuk saat ini aku percaya padamu. “ Jawabku dengan nada sedikit kesal.
Kemudian aku lanjut berjalan mengikuti pimpinan Galang.
Kutarik
kembali kata- kataku. Aku tidak percaya lagi dengan Galang. Karena dia,
sekarang kami berempat ada di tengah – tengah hutan yang gelap. Aku benar- benar takut sekarang.
“
Menurutku kita harus mendirikan tenda di sini.” Lia memberi saran seraya
meletakkan tasnya di dedaunan kering dekat sebuah pohon pinus yang tinggi.
Saran Lia ada benarnya, tidak mungkin kami semua melanjutkan perjalanan di
tengah gelapnya malam, itu bisa berbahaya.
“ Kau
yakin di sini daerah yang aman untuk mendirikan tenda ?” Tanyaku pada Lia. Hal ini penting untuk ditanyakan, aku tak mau
tendaku tiba – tiba rubuh di malam hari.
“ Ya,
tanahnya tidak terlalu gembur, ini cocok dijadikan tempat mendirikan tenda.”
Lia berkata sambil mengeluarkan barang – barang seperti senter, botol minum dan
beberapa ikat tali tambang.
“Kurasa
kita harus mengikuti saran Lia, nanti pagi kita pasti akan sampai di tujuan.”
Galang berkata dengan nada yang mantap. Sepertinya dia belum sadar bahwa dialah
penyebab kita tersesat di hutan. Aku mendengus kesal, sebenarnya entah kenapa
atmosfir hutan ini selalu membuatku takut, apalagi dengan keadaan kami yang
tersesat itu menambah rasa takutku. Dengan terpaksa kukeluarkan peralatan untuk mendirikan tenda.
Kami berempat menempatkkan tenda kami berdekatan satu dengan yang lainnya,
membentuk sebuah lingkaran.
“ Kita
harus membuat api unggun.” Ucap Ravi sambil memandang kami bertiga. Kemudian
kami berpencar membagi diri menjadi dua tim untuk mencari kayu – kayu yang bisa
dibakar untuk menghangatkan diri dari hawa dingin yang menusuk kulit.
Ravi dan
aku mulai mengumpulkan kayu bakar. Aku mengumpulkan kayu yang berukuran sedang
sampai kecil, sedangkan Ravi mengambil kayu yang agak besar . Entah sudah
berapa jauh kami mencari kayu bakar, begitu sadar kami telah berdiri di sebuah
rumah kecil, seperti basecamp, namun yang ini jauh lebih kotor.
“ Aku baru
tahu ada basecamp di sini.” Kataku
dengan nada yang pelan.
“ Basecamp
ini sepertinya jarang disinggahi orang. “ Ravi berkomentar.
“ Dari
mana kau tahu basecamp ini jarang ada orangnya ?” Tanyaku pada Ravi. Aku agak
penasaran kenapa dia langsung bisa menyimpulkan sesuatu hanya dengan melihat
saja.
“ Debunya
tebal, kalau sering disinggahi orang pasti tidak berdebu dan pasti ada jejak
–jejak sepatu di sekitar lantai.” Ravi menjawab sambil terus mengumpulkan kayu
bakar. Aku termenung sejenak mengamati basecamp
yang terlihat usang tersebut. Tiba – tiba terdengar suara langkah kaki
dari dalam basecamp. Sekujur tubuhku merinding. Basecamp ini lumayan terpencil
dan tidak mungkin ada orang yang masuk tanpa meninggalkan jejak. Kakiku mundur
selangkah demi selangkah.
“ Ra..
ravi.”Aku berusaha memanggil Ravi, tapi entah kenapa seperti ada yang mencekik
leherku. Suaraku tak bisa keluar dengan benar. Aku berlari medekati Ravi dan memegang bahunya dengan kuat, seluruh
tubuhku terasa kaku tatkala suara langkah kaki tersebut semakin mendekat.
“ Ravi a..ada
su..ara dari dalam sana.” Kataku terbata. Ravi
membalikkan tubuhnya lalu mencoba mendengar dengan seksama, ia terlihat kaget mengetahui ada suara dari dalam basecamp. Ravi menggegam
pisau lipat yang berada di ikat pinggangya, tangannya sudah siap untuk
mengeluarkan pisau tersebut. Saat ini, aku bersyukur Ravi membawa pisau lipat
ke mana – mana, setidaknya ia bisa melindungi diri kami dari apapun yang berada
dalam basecamp tersebut.
Pintu kayu
basecamp tersebut terbuka dengan suara deritan yang begitu keras bersamaan dnengan
terpaan angin dingin yang menerpa tubuhku. Nafasku tertahan untuk sesaat ,
sempat terlintas di otakku segala pikiran buruk, namun begitu aku melihat sosok
yang ada di balik pintu tersebut aku
langsung merasa lega.
Seorang
lelaki berkacamata dengan menggunakan jaket parasut dan celana jeans coklat tua
berdiri beberapa meter di hadapan kami. Warna kulit dan bibirnya agak pucat,
mungkin karena hawa dingin di gunung
ini, namun ia tetap memberikan sebuah senyum ketika melihatku dan Ravi.
“ Selamat
malam.” Katanya sopan. Aku terdiam sesaat memandanginya, lalu kubuka mulutku
untuk membalas sapaannya.
“ Oh…
selamat malam kak.” Jawabku dengan nada yang pelan.
“ Kalian pendaki ya?”
“Iya,
kak.”
“
Tersesat?” Kakak itu bertanya lagi
padaku dan Ravi. Sejenak aku berpikir, apakah mukaku dan Ravi terlihat seperti muka anak hilang hingga kakak ini bisa
langsung menebak apa yang terjadi pada kami.
“ Ya,
begitulah kak. Maklum, kami pendaki pemula. “ Kali ini Ravi angkat bicara
membalas perkataan kakak tersebut.
“Kalian
harus berhati – hati, usahakan jangan tersesat.” Kakak itu tersenyum dengan
lembut.
“ Ya, akan
kupastikan kami tidak tersesat lagi.”Aku berkata sambil tersenyum balik pada
kakak tersebut sementara Ravi terus memandanginya. Dari sorot matanya terlihat
ada hal yang ia ingin ketahui tentang sosok yang berdiri di hadapan kami ini.
“ Maaf
kak, tapi kenapa kakak berada di basecamp ini? Apa kakak juga tersesat? “ Tanya
Ravi dengan berani.
“ Tidak,
aku tidak tersesat.”
“ Kalau begitu apa kakak penjaga basecamp ini?”
“ Aku
memang penjaga, tapi aku bukan penjaga basceamp. “
“ Jadi
kakak ini penjaga apa?”
“Aku
penjaga orang – orang seperti kalian.”
Ucapan
kakak tadi membuatku tertegun. Menjaga orang seperti kami ? Apa maksudnya? Aku
melirik ke arah Ravi dan tergambar di mukanya ekspresi yang tak bisa
kujelaskan, antara kaget tapi bercampur rasa penasaraan dan kecurigaan.
“ Orang
seperti kami?” Ravi kembali bertanya.
“ Iya,
kalian orang yang tersesat bukan?” Kakak tersebut menjawab petanyaan Ravi.
Kakak ini
ada benarnya juga.Kami memang orang yang tersesat, kurasa ia adalah penunjuk
jalan di hutan atau sejenisnya.
“ Kalau
begitu bisa berikan petunjuk arah untuk sampai ke puncak gunung ? “ Tanyaku
dengan nada antusias, setidaknya aku akan mendapat arah yang benar dan tidak
semakin hilang di tengah hutan belantara.
“ Kau
harus kembali turun gunung, kembali ke persimpangan yang kalian temui dan
mengambil belokkan yang satu lagi.” Aku
gembira mendengar penjelasan kakak itu, sudah kuduga Galang salah mengambil
belokkan, kali ini pasti kami akan melewati jalan yang benar. Baru saja aku
akan mengucapkan terima kasih, tiba –tiba kurasakan sebuah tangan menggengam
lenganku.
“Terima
kasih atas sarannya, tapi kami buru – buru kak, teman – teman kami pasti sudah
menunggu.” Ravi berucap sambil menatap tajam kakak tersebut, ia mengeratkan
cengkramannya pada lenganku dan menarikku pergi dari situ.
“ Sama –
sama. Jangan tersesat lagi ya kalau kalian makin tesesat...” Perkataan kakak
tersebut berhenti di tengah jalan, aku tidak terlalu yakin akan apa yang
dikatakannya, tapi samar- samar kudengar ia berkata,
“ Kalau
makin tersesat kalian tidak akan bisa pulang.”
Galang dan
Lia sudah menunggu kedatangan kami, Lia berkata mereka sempat cemas dan
berpikir bahwa kami menghilang di tengah hutan atau jatuh ke jurang. Kami mulai
menyalakan api unggun, dan menyeduh air hangat. Aku duduk di samping Ravi yang
sedang meminum air hangatnya.
“ Kenapa
tadi kau menarikku ?” Aku bertanya pada Ravi yang berada di sebelahku.
“ Ada yang
aneh padanya, aku merasakan hawa yang asing.”
“ Dia baik
kok. Tak ada hawa mencurigakan.”
“ Dia
memang tak mencurigakan, walau aku sempat mempunyai berprasangka buruk.
Hanya saja…”
“ Hanya
saja ?”
“ Hanya
saja dia terasa asing.”
Ravi
menutup pembicaraan pada malam itu, sambil meminum gelas terakhirnya, ia segera
menuju ke tenda miliknya. Aku termenung memikirkan kata- kata Ravi barusan.
Ditemani nyala api unggun aku duduk sambil memegang segelas air hangat dibawah
langit bertabur bintang – bintang.
Lia
berkata dia menemukanku tertidur di dekat api unggun, ia bersyukur aku tidak
terkena luka bakar karena percikan api. Kurasa aku tanpa sadar tertidur karena
memikirkan perkataan Ravi, ya, memang jarang dia berkata seperti itu. Maksudku,
ia seakan ingin menyampaikan sesuatu tapi hanya memberikan sedikit gambaran
tentang apa yang ada di pikirannya. Ravi orang yang frontal, apa yang ada di
otaknya mengalir ke mulutnya dan ia bukan tipe orang yang menutup –nutupi
sesuatu. Hal itu berbeda sekali dengan sikapnya tadi malam, ia seakan tahu
sesuatu tapi menutupinya namun tetap
memberiku sedikit informasi untuk kutelaah sendiri.
Setelah
membereskan tenda dan mengalami sedikit perdebatan kecil, rombongan kami
memutuskan untuk turun lagi. Dalam perjalanan Galang berusaha meyakinkan kami
agar berputar balik dan tetap menuju puncak gunung dengan menggunakan kertas
petanya, tapi akhirnya kami tetap memutuskan untuk kembali ke persimpangan yang
kami lewati di awal perjalanan. Kurasa Ravi dan Lia juga tidak mau tersesat
untuk kedua kalinya.
Ketika
sampai di persimpangan, aku melihat Afif dan beberapa orang yang tak kukenal
seperti membicarakan sesuatu.
“ Afif
!” Aku berteriak dengan keras sambil
berlari kecil. Afif membalikkan tubuhnya dan tersenyum penuh kelegaan.
“ Astaga,
kupikir kalian tersesat dan tidak akan kembali lagi. Teman – teman yang lain
juga khawatir. Kelompok Brenda dan kelompokku sudah sampai ke puncak, hanya
kelompok kalian yang belum. ” Afif berkata sambil memandangi kami satu per
satu, aku tahu ia pasti cemas, ia adalah ketua pendakian kami kali ini dan
pastinya yang akan bertanggung jawab jika kami berempat hilang di tengah hutan.
“ Galang
salah mengambil belokkan, kami sempat tersesat.” Lia berkata sambil melirik ke
arah Galang. Afif menghampiri Galang dan memberitahunya bahwa arah yang ada di
petanya salah, mungkin Galang tidak
mendengarkan dengan baik karena itu ia salah catat.
“ Syukurlah
kalian selamat.” Seorang lelaki tinggi menghampiri kami. Di jaketnya terukir
nama bertuliskan ‘ Aditya Sulistianto’ dan ia memperkenalkan dirinya sebagai
Adit seorang mahasiswa yang baru saja diterima bekerja di departemen lingkungan
hidup.
“ Untunglah kalian memilih kembali ke sini.
Kalau kalian paksa mendaki sampai atas, kalian pasti celaka, medan di sana
terjal dan dekat dengan jurang.” Kak Adit menjelaskan.
“ Apa
pernah terjadi kecelakaan di sana ?” Ravi bertanya pada Kak Adit. Lelaki tinggi
tersebut tidak langsung menjawab pertanyaan Ravi, ia mengeluarkan ponselnya
lalu memperlihatkan kami foto dirinya dan seseorang yang amat mirip dengan
kakak yang kutemui semalam.
“ Kau
lihat orang di sebelah kiriku? Itu adalah Raihan, sahabatku semasa kuliah.
Sebelum kelulusan, teman – temanku memutuskan mendaki gunung ini. Aku dan
Raihan juga ikut, tapi Raihan terpisah dari rombongan, ia salah mengambil
belokkan dan tersesat. Kejadiannya persis seperti kalian. Namun ia memilih
melanjutkan terus hingga ke puncak gunung.”
“ Tapi di
tengah perjalanan ia terjatuh ke jurang. Tubuhnya ditemukan tiga hari kemudian di dasar jurang oleh para
pendaki.” Kak Adit lanjut bercerita, raut mukanya menampakkan kesedihan. Ia
menutup kembali ponselnya. Setelah bercakap – cakap sebentar, Kak Adit
meninggalkan kami berdua. Setelah mendengar cerita Kak Adit, aku merasa keringat dingin menetes
dari dahiku. Aku menoleh ke arah Ravi
yang berdiri di sebelahku.
“ Kau tahu
?”
“ Tahu
apa?”
“ Kalau
yang semalam kita temui… bukan manusia?”
Ravi
menatapku sejenak, kemudian ia menganggukan kepalanya.
“ Ya,
karena itu kubilang, hawanya asing bukan ?” Jelas Ravi.
“ Kenapa tak bilang langsumg?”
“ Kau
penakut, kalau kuberitahu kau tak bisa tidur.”
Aku
tertegun sejenak, Ravi benar juga, kalau aku diberitahu jika kak Raihan sudah
menjadi arwah, mungkin aku ketakutan. Ini juga pertama kali aku berhadapan
secara langsung dengan mahluk lain. Aku sering mendengar pengalaman orang –
orang, antara percaya dan tidak, tapi sekarang aku merasakannnya langsung.
Tepukan di
pundak membuyarkan lamunanku, ternyata itu Afif yang mengajak kami untuk segera
naik ke puncak gunung dan berkumpul bersama yang lain. Aku berjalan dengan
berlahan, Ravi yang berada di sampingku berkata dengan suara pelan
“ Anggap
saja, kita tak pernah tersesat.”
Angin di
hari itu terasa lebih kencang dari biasanya, mengiringi langkahku mendaki ke
puncak gunung sambil berusaha menghapus memori semalam.
0 komentar