20. MILLATA AZMA BASMALA - LIKU DALAM WAKTU
03.35
Ia melihat dengan jelas, tetapi seperti bukan pandangannya.
Ia melihat tangannya meraih baju atasan militer berwarna hijau lumut, tapi ia
tidak merasakan bahwa ia yang menggerakkan tangan itu. Ia sadar jelas, cermin
ada di sampingnya. Tapi, ia tak bisa menengokkan kepalanya, seolah-olah ia
hanya menjadi penonton—penonton yang terlibat. Rasanya seperti mengulang adegan
yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Derit kayu dan suara langkah berat
yang lamban memenuhi ruangan. Seberat apapun keinginannya untuk menengokkan
kepala, ia tak bisa. Tubuhnya terus menyibukkan diri melipat baju militer yang
tadi.
“Semua sudah siap?”
Ia dapat merasakan bibirnya
bergerak. Tapi yang terdengar bukanlah suaranya yang sehari-hari. Aneh,
suaranya terdengar jauh lebih lembut dari biasanya.
“Belum,” suara berat seorang pria
menjawab. “Aku siap, kamu belum.”
“A-aku—,” suara lembutnya kembali
bersuara, bola matanya berpindah-pindah karena gugup, ia merasa seperti tidak
bisa melanjutkan.
“Maaf—“
“—aku siap,” selanya dengan mantap.
Ia bisa melihat keraguan melintas dimata suaminya yang gelap—penuh misteri. Ia
pun tersenyum lirih. “Aku siap, Dika.”
Dika menutup mulutnya yang
sebelumnya membuka sedikit. Senyum polos terulas di wajahnya. “Ya, aku pecaya.”
“Semuanya sudah siap?” Pertanyaan
itu pun terulang, hanya kini keyakinan melengkapi suara itu.
“Ya,” tak mau kalah, Dika menjawab
juga dengan penuh keyakinan, senyumnya tak menghilang. “Semuanya sudah siap.”
--
Lia
membuka matanya dengan paksa. Tenggorokannya seperti tercekik, napasnya
tersengal-sengal. Keringat bercucuran dari sela-sela rambut menuruni wajahnya.
Sambil bergetar, Lia mencoba dengan sekuat tenaga menyingkirkan selimut yang
membuatnya merasa terbakar.
Apa
itu tadi yang ia mimpikan? Mimpi itu pun terulang kembali dalam kepalanya
dengan jelas. Berbeda dengan mimpi-mimpi lain yang pernah ia alami—yang
langsung terlupakan.
Dika.
Siapa itu Dika? Ada dimana ia
sekarang? Bagaimana ia bisa berada di dalam mimpinya? Apakah Dika berkaitan
dengan masa lalunya? Tapi, jika dipikirkan kembali, Lia tak pernah ingat pernah
kenal dengan seorang pemuda bernama Dika. Dan mengapa dalam mimpi itu Lia
menganggap Dika adalah suaminya? Dan apakah ia sendiri dalam mimpinya adalah ia
yang sekarang? Seorang Lia?
Pertanyaan-pertanyaan tak terjawab
terus mengalir tanpa bisa ditahan. Lia mencoba menarik napas dan
mengeluarkannya perlahan-lahan sebelum ia pingsan karena kekurangan oksigen.
Jari jemari tangan kanannya memijat pelipisnya perlahan. Menolehkan kepala
sedikit ke kanan, Lia melihat ke arah jam dinding yang baru ia beli bulan lalu.
Jarum pendek menunjukkan angka tiga dini hari. Lia menghembuskan napas dengan
berat, ia yakin dengan sepenuh hati, tidur yang ia butuhkan tidak akan ia
dapatkan kembali. Lebih baik ia memulai hari dan mencoba melupakan mimpinya
untuk sementara.
--
“Ngelamun
aja, Li?”
Pikirannya yang hanya memutar pada
satu titik buyar. Lia tertawa ringan, temannya memang selalu bisa menjaganya
tetap sadar akan lingkungan. “Yaaaa?”
“Apasih yang lo pikirin?”
“Biasa, Sep, sesuatu yang gak
penting.”
Septi menampilkan ekspresi ragunya
yang biasa. “Lo taukan lo selalu bisa ngomong ke gue tentang apa aja?”
Lia memandang mata coklat terang Septi lama dan dalam. Ia selalu bertanya-tanya
mengapa mata Septi begitu terang dan indah sementara miliknya sendiri hanyalah
mata coklat polos yang sederhana. Senyum kecil terbentuk dari ujung ke ujung
bibir mungil Lia. “Ya,” jawabnya akhirnya, “aku tahu.”
Sesaat Lia sempat ingin langsung memberitahukan apa yang mengganggu pikirannya.
Tapi entah mengapa, begitu ucapannya sudah di ujung lidah, Lia malah berubah
pikiran. Masih ada esok-esok hari.
Bel pergantian jam berbunyi. Lia dan Septi seketika itu juga memeriksa jam
tangan mereka.
“Li?”
“Iya?”
“Sekarang lo ada apa?”
Lia mengambil selembar kertas dari tas jinjing kulitnya. Tabel yang sudah
sangat ia hafal ia cek kembali. “Antropologi Budaya,” jawabnya.
Septi memekik pelan. “Mata kuliah terakhir?”
“Iya,” Lia menjawab sambil tertawa ringan.
“Yaudah,” kata Septi akhirnya sambil terus mengambil langkah-langkah besar ke
belakang. “Gue ke English dulu.”
Lia hanya bisa melihat dan tertawa kecil begitu Septi menabrak seorang pemuda
yang tidak ia kenali. Pemuda itu bukan pemuda yang tidak tampan, bukan salah
Lia jika ia menatap pemuda itu lebih lama dari yang seharusnya. Rambutnya yang
memiliki ikal di ujung berwarna hitam pekat, sangat kontras dengan warna
kulitnya yang berwarna kuning langsat. Dilihat dari tampilannya, pemuda itu
bukanlah pemuda yang terlalu mempedulikan penampilan—hanya menggunakan kemeja
biru tua polos dan celana jins hitam. Tetapi dengan gayanya yang seperti itu,
pemuda itu justru terlihat lebih menarik. Ia menang sekepala lebih tinggi dari
Septi—yang lebih tinggi lima senti dari Lia. Posturnya yang jangkung hampir
terhuyung ketika Septi tidak sengaja menabraknya, tapi pemuda itu tetap bisa
menjaga keadaannya.
Semuanya terasa membayang begitu Lia rasa ia sadar akan satu hal. Ia yakin ia
sadar akan sesuatu hal, tapi ia sendiri pun tidak bisa menjelaskan apa yang
sebenarnya ia sadari. Semua di sekitarnya menjadi samar-samar; ia bisa melihat
bagaimana Septi meminta maaf kepada pemuda itu yang dibalas hanya dengan
anggukan canggung. Ia bisa melihat bagaimana pemuda itu seketika pergi tanpa
berhenti sebentar sekedar untuk merapikan pakaiannya. Semuanya terjadi begitu saja,
sementara pikirannya terus memusat pada suatu hal yang tak terjawab.
“Li?”
Renungannya buyar begitu Septi memanggil namanya. Rasanya seperti tersandung di
tangga yang paling atas. Nyaris sampai, tapi ternyata tidak bisa.
“Hmm?”
Septi mendecakkan lidah. “Kebiasaan kan, dikit-dikit melamun.”
“Ya—,” Lia mencoba menjawab sebelum Septi menyelanya.
“—gak bagus tau.”
Lia mencoba mengabaikan pendapat Septi barusan dengan menyisirkan jemarinya ke
rambutnya yang menuruni punggungnya dan berhenti di tulang belikat. “Ya,” ia
akhirnya menjawab, “aku tahu benar jika kamu selalu mengingatkan ku hampir
setiap waktu kita bertemu.”
Lia tidak bisa menutupi ekspresi tercengangnya begitu ia malah mendengar suara
tertawa lepas sebagai balasan dari Septi. “Loh, kok malah ketawa?”
“Lo gak sadar ya?” Mulut Lia yang yang membuka melebar ketika Septi malah balik
bertanya, tapi Septi tetap melanjutkan. “Lo tuh pasti selalu melamun tiap kali
ketemu gue.”
Tawa yang berusaha Lia tahan malah lepas tak terkendali. “Ih! Jangan gitu
dong.”
“Kan kenyataan,” Septi balik menjawab dan ikut tertawa, “untung badan lo belum
pernah diisi makhluk yang macem-macem ya.”
Tanpa bisa menahan, Lia memukul pundak Septi pelan. “Ngomongnya bagus banget
ya..”
“Udah deh, gue mau ke kelas sekarang. Gak mau telat lagi nih. Duluan ya Li!”
Hanya anggukan dari Lia yang tidak dapat Septi lihat karena ia langsung
membalikkan badan menuju kelas Inggris. Lia menatap pundak Septi lama dan
dalam, merasakan perasaan sangat bersyukur memenuhi sekujur tubuhnya karena
memiliki sahabat seperti Septi. “Iya,” gumamnya akhirnya.
--
Suara langkah terburu-buru, ditambah dengan suara dering
telepon yang menderu-deru, hanya memperburuk kondisi detak jantungnya yang
semakin menggebu-gebu. Seketika semuanya seakan berhenti begitu ia mengangkat
telepon, bahkan jantungnya.
“Ya?” ucapnya gemetar.
Sesaat tidak ada jawaban di ujung sana, sebelum suara wanita terlatih
terdengar. “Dengan keluarga dari Letnan Satu Mahardika?”
“Ya?”
“Kalau boleh tau, dengan siapa saya bicara?”
“Saya Amalia, istri Dika,” jawabnya lancar dan anehnya tanpa keraguan.
“Oh, begini,” wanita di ujung telepon memberi jeda sebelum melanjutkan maksud
dari telepon yang ia terima. “Kami meminta maaf sebelumnya karena harus
memberitahukan kepada Anda bahwa Letnan Satu Mahardika telah gugur di medan
perang. Ia menghembuskan napas nya yang—“
Suara wanita itu mengecil hingga tak terdengar sama sekali seiring dengan
terjatuhnya gagang telepon yang terbuat dari kuningan. Selanjutnya pandangannya
menjadi buram begitu bulir-bulir air mata yang tak terbendung keluar tanpa
henti. Seluruh tubuhnya mati rasa. Dunia seakan mengecil dan meninggalkan
sedikit ruang saja untuknya bernapas. Dadanya sakit, seperti ada pedang tak
terlihat yang menusuk tepat di jantungnya. Suara bayi yang menangis hanya
membuat air matanya mengalir semakin deras.
Kini mereka hanya berdua. Ia dan
bayinya. Kenyataan pahit itu tak terelakkan. Diremasnya kalung berliontin batu
rubi yang dipahat sedemikian indahnya yang tidak pernah ia lepas dari pertama
kalinya benda itu mengalungi lehernya. Kalung yang merupakan pemberian suaminya
beberapa tahun lalu. Rasanya belum lama ketika suaminya mengajaknya ke
tengah-tengah perkebunan teh dan melamarnya dengan kalung itu. Dan sekarang ia
harus menerima fakta bahwa sang pemberi kalung telah tiada.
Wajah suaminya yang tersenyum
menawan lah yang terakhir ia ingat sebelum semuanya menjadi gelap—
--
Lia
terbangun tanpa usaha. Bukan keringat yang membasahi wajahnya, bukan pula deru
detak jantungnya yang membuatnya sesak napas. Lia mengusap wajah dengan kedua
tangannya dan baru ia sadari air yang mebasahi wajahnya berasal dari
matanya.
Tanpa sadar, tangannya lantas
menelungkup liontin rubi yang menggantung di lehernya. Liontin pemberian ibunya
lima tahun lalu begitu ia genap 17 tahun. Lia tidak pernah tau asal-usul kalung
tersebut, kecuali pengetahuan bahwa kalung ini telah turun temurun dari garis
keturunan perempuan pertama di keluarga ibunya.
Semua ketidakpastian ini sangat
mengganggu pikirannya. Takut akan mengganggu waktunya di kampus nanti, Lia
memutuskan untuk menelepon ibunya saat itu juga. Ya, menelepon ibunya pada
pukul empat dini hari.
Dengan tangan yang masih gemetar,
dan mata yang belum melihat dengan jelas, ia meraba-raba meja di samping
kasurnya mencari telepon genggamnya.
Jempolnya terhenti di atas tombol
berwarna hijau. Sesaat keraguan menguasainya kembali. Sambil menghembuskan
napas panjang, akhirnya Lia menekan tombol tersebut dengan mantap.
Ibunya mengangkat saat dering
kedua.
"Lia?" sapa Ibunya di
ujung sana. "Ada apa?"
Lia terdiam sejenak sebelum
menjawab. "Bu?"
"Iya, ada apa?" Suara
ibunya yang penuh kelembutan seperti biasa langsung menenangkan jiwanya yang
dipenuhi getar keraguan. Seketika itu juga Lia baru sadar seberapa rindunya ia
kepada ibunya yang menetap di Bandung. Tanpa bisa ditahan, air matanya yang
sempat berhenti mulai mengalir keluar kembali.
"Aku kangen, Bu," akunya tanpa
menyembunyikan isak tangisnya.
"Loh, Li?" Ibunya langsung
menjawab. "Ada apa, Nak? Ibu juga kangen sama kamu."
"Bu," Lia memulai kembali,
"aku gak ganggu kan?"
Engga kok engga. Kasih tau aja apa
yang membebani kamu sekarang."
Lia belum yakin untuk membalas
ibunya.
"Lia?" Panggil Ibunya
lagi. "Ada apa? Kamu baik-baik kan di Jakarta?"
"Iya, Bu," akhirnya Lia
menjawab, "aku baik-baik aja kok. Ibu baik kan?"
"Iya, Li. Ibu baik-baik
aja."
"Bu, Ibu tau gak asal-usul
liontin yang Ibu kasih ke aku?"
"Ohiya!" Suara tawa kecil
terdengar di ujung sana. Lia dapat membayangkan Ibunya menepuk dahinya karena
baru ingat sesuatu. "Ibu belum ngasih tau kamu ya?"
Lia menunggu sesaat, menunggu
pertanyaan "mengapa tiba-tiba kamu menanyakan itu?" keluar dari bibir
ibunya. Namu hanya kesunyian di ujung sana. Lia tersenyum lembut, merasa sangat
bersyukur memiliki ibu yang sangat pengertian.
"Belum, Bu."
"Liontin itu dulu punya
neneknya nenek buyut kamu. Liontin itu pemberian suaminya yang kemudian
meninggal di medan perang waktu kita di masa penjajahan."
Mata Lia melebar begitu menyadari
keserasian cerita tersebut dengan mimpinya. Kekejutannya membesar begitu ibunya
melanjutkan.
"Ohiya, kalau kamu ingin tau,
nama nenek nya nenek buyut mu itu Amalia. Nama kamu memang diambil dari nama
almarhumah."
"Bu, kalau boleh tau apa nama
suaminya?"
Sesaat ibunya terdiam. "Dika,
Li. Mahardika."
"Oh." Hanya itu jawaban
Lia.
Beberapa detik berlalu tanpa ada
suara dari kedua wanita yang saling merindukan. Lia melihat jarum pendek di jam
dindingnya telah menunjukkan angka lima.
"Yaudah Bu," ucap Lia
bermaksud untuk mengakhiri pembicaraan. "Aku mau siap-siap untuk kuliah
hari ini ya, Bu?"
"Iya Li, hati-hati ya."
"Iya, Bu. Ibu juga jaga diri
ya."
"Iya, Sayang. Sampai
nanti."
"Sampai nanti."
Suara telepon terputus merupakan
kode di pagi hari itu bagi Lia untuk memulai harinya.
--
Langkah kakinya memberat seiring
matahari semakin menuruni langit. Bukan pilihan lagi kalau ia harus menuju
perpustakaan begitu jam mata kuliah terakhirnya usai. Tugas yang diberikan
dosen kepada Lia dan teman-teman sejurusan mewajibkan mereka menggunakan
buku-buku tertentu yang ada di perpustakaan.
Kepalanya terus menunduk karena
rasanya sangat berat sekedar untuk mengangkat kepala. Pemandangan akan sepatu
olahraga yang berhenti di depan sepatu flatnya mebuatnya menghentikan
langkah.
Secara perlahan, Lia menaikkan
kepalanya. Matanya melebar begitu melihat pemuda yang waktu itu tertabrak oleh
Septi.
"Uh," gumam pemuda
tersebut. "Perpustakaan dimana ya?"
"Oh?" Balas Lia sama
bingungnya. "Anak baru ya?"
"Gue bukan mahasiswa di
sini," pemuda itu langsung menjawab. "Gue mau jemput adek gue yang
lagi di perpustakaan."
Pemuda itu tidak melanjutkan. Masih
banyak sebenernya pertanyaan yang ada di kepala Lia. Tapi Lia juga tidak
memaksakan kehendak untuk mengetahui segalanya tentang pemuda asing itu.
"Oh yaudah," ucap Lia,
senyum manis tersinggung di bibirnya. "Gue juga mau ke perpus kok."
Tanpa berpikir panjang Lia melewati
pemuda itu dan terus berjalan menuju perpustakaan; berharap pemuda itu akan
mengikuti. Dan ternyata benar, pemuda itu langsung mengikuti Lia.
"Gue Lia by the way."
"Gue Dika."
Seketika itu juga langkahnya
terhenti.
0 komentar