14. FATHIYA RAHMA HERMAWAN - SATU HARI DI BULAN APRIL
04.47
Cuaca siang itu sangat terik. Namun hal itu
sepertinya tidak mengganggu siswa dan siswi TK Puspa yang sedang menikmati
waktu istirahat mereka di luar kelas. Suasana begitu ceria dan riuh dengan tawa
anak-anak kecil. Beberapa dari mereka berlari-lari saling mengejar satu sama
lain, beberapa lainnya membentuk sebuah lingkaran sembari duduk di tanah dan
melakukan permainan, dan sisanya bersenang-senang di area bermain pasir.
Tetapi, terdapat satu anak laki-laki memisahkan diri dari teman-temannya.
Ia
berdiri di bawah sebuah pohon rindang yang terletak di pojok taman, terlindungi
dari sinar matahari. Pandangannya terfokus pada seorang gadis kecil yang berada
di kelas yang sama dengannya. Ia tersenyum ketika melihat gadis itu terjatuh,
membenamkan wajah mungilnya ke dalam gundukan pasir. Gadis itu berdiri, butiran
pasir menempel pada tubuh dan wajahnya. Melihat kejadian konyol itu, sebuah
tawa kecil keluar dari mulut anak laki-laki tersebut.
Sayangnya
semua itu tidak bertahan lama. Pada saat seorang anak laki-laki lain mulai mengganggu
gadis kecil itu, senyumnya menghilang. Tangan mungilnya meremas ujung seragam
yang ia kenakan. Tanpa pikir panjang, ia menghampiri gadis kecil dan anak
laki-laki yang mengganggunya dengan cepat.
Saat
ia sampai di area bermain pasir, anak-anak lainnya sudah membentuk lingkaran
mengelilingi kedua anak kecil tadi. Ia menerobos masuk, dan lalu semua terjadi
dengan cepat. Tubuh anak laki-laki pengganggu tadi sudah terletak di pasir.
Dikuasai oleh emosi, kedua anak laki-laki itu mulai bertengkar. Sedangkan si
gadis kecil hanya bisa terdiam, mencoba untuk memproses kejadian yang sedang
berlangsung. “Berhenti... berhenti!”
Ring, Ring, Ring!
Alarm
handphone Milla membangunkannya dari
mimpi yang terasa begitu nyata. Ia dapat merasakan napasnya sedikit lebih cepat
dari normal. Mimpi yang aneh,
gumamnya dalam hati. Milla kembali memejamkan mata untuk menenangkan diri.
Sudah lama ia tidak bermimpi dan ia tidak menyangka akan memimpikan anak-anak
kecil.
Setelah beberapa
menit, ia memutuskan untuk bangkit dari kasur dan membersihkan dirinya. Hanya
karena ini hari Minggu, bukan berarti ia akan bermalas-malasan di kamarnya.
Walaupun itu terdengar sangat menggoda. Ia sudah memutuskan untuk berolahraga
setiap hari Minggu pagi, dan hari ini ia akan memulai rutinitasnya barunya.
Setelah
Milla selesai bersiap, ia keluar dari kamar menuju ruang makan. Dilihat mamanya
duduk di kursi meja makan, punggungnya menghadap Milla. Jika rutinitas Milla
pada hari Minggu sebelumnya adalah bermalas-malasan, rutinas mamanya adalah
membaca koran ditemani secangkir kopi hangat racikannya. Dan beliau tidak
terlihat akan mengubah rutinitasnya itu dalam waktu dekat.
“Pagi
Ma,” Sapa Milla hangat sembari mengecup pipi mamanya. Ia segera duduk dan mulai
mengolesi roti dengan selai kacang. Semua bahan dan peralatan untuk membuat
roti sudah tersedia di meja makan, karena sarapan kedua ibu dan anak itu setiap
pagi selalu sama.
“Pagi
Nak,” balas wanita paruh baya yang duduk di depan Milla, sebuah senyuman
menghiasi wajahnya, “mau kemana pagi-pagi? Kok sudah rapi?”
Kini
giliran Milla yang menyunggingkan senyum dengan bangga. “Mau olahraga. Keren
kan?” Milla menggigit roti dengan lahap. Senyum di wajah mama Milla tidak
menghilang, justru semakin lebar. “Kalau
kamu bisa pertahanin setiap minggu olahraga, baru keren. Kalau cuma
sesekali doang sih..” Ia tidak menyelesaikan kata-katanya, sengaja untuk
menggoda buah hatinya. Milla meraih segelas susu yang ia ambil sebelum duduk di
kursi meja makan. Setelah menghabiskan minuman, Milla beranjak dari kursi dan
meraih tangan mamanya dan mengecupnya.
“Lihat saja nanti.” Ucap Milla tidak kalah jail sebelum ia memberi salam lalu
meninggalkan rumah.
Milla
mulai berjalan ke arah lapangan yang terletak tidak jauh dari rumah. Sesampainya
disana, ia mulai berolahraga. 30 menit berlalu, dan Milla mulai merasa lelah.
Ia memutuskan untuk menyudahi kegiatannya. Milla tidak ingin memaksakan
tubuhnya dan malah sakit sehingga ia tidak bisa masuk sekolah besok.
Milla
menghembuskan napas panjang. Ia memejamkan mata dan menyandarkan kepala di
bangku taman. Dasar orang jarang olahraga,
cepet banget capeknya, gerutu Milla dalam hati. Saat ia sedang sibuk dalam
lamunannya, seseorang tiba-tiba membuyarkan semua itu.
“Nih,”
ucap seseorang di sebelahnya. Dari suaranya, Milla dapat menebak bahwa
pemiliknya adalah seseorang laki-laki. Milla membuka mata perlahan sebelum
menoleh ke arah asal suara tersebut. Dilihatnya laki-laki seumuran dirinya
menyodorkan sebotol minuman kepadanya. Ia cukup tampan, namun Milla tidak
mengenali siapa dia. Dan tidak mungkin Milla melupakan laki-laki setampan dia.
Apakah dia seorang penguntit? Bisa saja laki-laki itu sedang berusaha untuk
meracuninya.
Bagaikan
laki-laki itu bisa membaca pikiran Milla, ia berkata, “Tenang, aman kok. Gue
beli dari abang itu.” Mata Milla mengikuti ibu jari si laki-laki misterius yang
mengarah ke abang-abang penjual. Lalu abang itu tersenyum ramah dan
menganggukkan kepalanya. Milla melirik laki-laki di sebelahnya yang membalas
senyuman si abang penjual minuman.
Oke, mungkin minuman ini nggak beracun. Dan
dia terlihat seperti orang sopan. Tapi.. dia siapa? Dimana aku pernah bertemu
dengannya?
“Lo siapa?”
kecurigaan dapat terdengar jelas pada suara Milla, walaupun tangannya meraih
botol minuman itu. Milla tidak ingin terlibat dengan orang yang berbahaya,
tetapi pada saat yang sama Milla tertarik untuk mengenalnya. Laki-laki itu
menjulurkan tangan kanannya setelah ia mengelap tangan kirinya yang basah
karena memegang botol minuman. “Teddy.” Jawab laki-laki itu dengan mantap, ia
lagi-lagi tersenyum. Namun beda dengan senyuman yang ia berikan untuk pedagang
tadi, senyumnya kali ini lebih lebar dan tulus. Dan ia jelas terlihat lebih
tampan.
“Sekarang
giliran lo, nama lo siapa?” Milla terdiam sesaat setelah mendengar pertanyaan
Teddy. Dia sempat berdebat dengan dirinya sendiri, ia tidak yakin harus memberi
tahu namanya atau langsung lari meninggalkan Teddy. Tapi setelah beberapa saat,
ia memutuskan untuk memberi tahu. “Milla.” Balas Milla sedikit malu-malu ketika
tangannya menyambut tangan Teddy.
Mengetahui
bahwa Milla tidak menganggapnya sebagai seorang kriminal membuat Teddy senang, tetapi
ia berusaha untuk tidak menunjukkannya. “Oke, Milla. Gue pingin lo pejamin mata
lo sekarang.” Seketika wajah Milla langsung menunjukkan kengerian setelah
mendengar permintaan Teddy. Gelak tawa meledak dari mulut Teddy. “Gue bukan
orang nekat, Mil. Nggak mungkin gue macem-macem disaat banyak orang di sini.”
Milla
melihat sekitarnya. Benar juga kata Teddy.
Dan cara Teddy memanggil namanya terdengar sangat akrab, Milla hampir merasa
nyaman akannya. Ia lalu melakukan sebagaimana diperintahkan. Beberapa menit
berlalu dan tidak terjadi apapun. Milla merasa kesal, ia merasa dikerjai. “Hey,
jangan bercanda—“ saat Milla membuka mata, Teddy sudah tidak ada dihadapannya.
Hanya ada sebuah kotak berwarna biru tergeletak di tempat Teddy duduk
sebelumnya.
Milla
meraih kotak itu dan membukanya. Isi kotak itu adalah sebuah gantungan dan
sepucuk surat. Milla tertawa kecil melihatnya. Mentang-mentang namanya Teddy, ia
memberi Milla sebuah gantungan berbentuk beruang. Kemudian ia buka surat itu.
“Selamat ulang tahun, Milla! Walaupun telat,
gue harap lo suka. –Teddy.”
Begitulah isi surat pendek dari Teddy. Milla berpikir sejenak, sebelum ia ingat
bahwa hari ini tanggal 28 April. Seminggu yang lalu adalah ulang tahunnya. Lalu
Milla sadar, darimana Teddy bisa tahu tanggal lahirnya? Begitu banyak hal
tentang Teddy yang ia ingin ketahui lebih jauh. Namun laki-laki itu sekarang
sudah menghilang, dan Milla tidak tahu bagaimana cara menghubunginya. Dalam
perjalanan pulang, Milla terus berharap agar dirinya bisa segera bertemu Teddy.
“Assalamualaikum.”
Ucap Milla saat memasuki rumah. Karena tidak mendengar balasan, Milla berinisiatif
untuk mengintip ke arah ruang tamu. Dilihat mamanya sedang asyik bercengkrama
dengan temannya. Seorang ibu-ibu juga, mungkin seumuran dengan mamanya. Milla
memutuskan untuk tidak mengganggu mamanya dan berjalan ke atas menuju kamarnya.
Mama
Milla menyodorkan sekaleng kue kepada temannya. “Ini dimakan dulu, kamu suka
cokelat kan?” teman Mama Milla menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Kamu ini
ya, Indri, dari dulu tidak berubah. Pasti menawarkanku kue cokelat jika aku berkunjung,
padahal itu kan kesukaanmu.” Ya, itulah nama asli mama Milla. Indri tersipu
malu karena ucapan sahabatnya. “Ah, Via. Kamu juga tidak pernah mengeluh kalau aku
kasih ini.”
Indri
dan Via. Keduanya telah bersahabat sejak SMA. Dulu Via dan keluarganya tinggal
di komplek yang sama dengan Indri, namun karena pekerjaan suaminya mereka
diharuskan pindah ke luar kota. Kini suaminya sudah dipindahkan kembali dan
mereka dapat tinggal di rumah lama mereka.
“Jadi,
gimana dengan anakmu? Pasti makin tampan ya?” tanya Indri sambil menyeruput teh
buatannya. “Iya dong, sama seperti Papanya. Tadinya ingin kuajak kesini. Eh,
pagi-pagi udah kabur aja nggak tau kemana.” Via menggelengkan kepala ketika mengingat
tingkah anaknya tadi pagi. Indri melambaikan tangan seakan-akan ia sedang
mengusir sesuatu. “Sudahlah, mungkin ia sudah membuat janji ingin bermain
dengan teman lamanya.”
Sesaat
Via terdiam, tidak terpikirkan olehnya bahwa anaknya bisa saja masih
berhubungan dengan temannya di kota ini. Karena ia masih begitu kecil ketika
mereka pindah. “Hmm.. mungkin,” Via menghela napas sebelum melanjutkan
perkataannya, “padahal aku ingin melihat reaksi dia ketika bertemu Milla lagi.”
Indri
tersenyum lebar ketika Via menyinggung tentang kedua anak mereka. “Aku ingat
ketika mereka masih TK anakmu pernah bertengkar dengan temannya karena dia
ingin membela Milla.” Ucap Indri sambil mengingat masa lalu. “Iya! Itu adalah
hari terakhirnya di kota ini. Tadinya ia ingin mengucapkan perpisahan kepada
Milla, tetapi tidak jadi karena pertengkaran itu. Eh, pulang-pulang dia
nangis.” Timpal Via diikuti oleh tawa.
“Yah,
kita juga akan mengetahui secepatnya bagaimana pertemuan pertama mereka. Anakmu
besok masuk ke sekolah Milla, kan?” Via mengangguk sebagai jawabannya kepada
pertanyaan Indri. Indri menghabiskan teh miliknya yang tinggal sedikit, lalu ia
teringat sesuatu. “Oh ya, siapa nama anakmu? Aku lupa.” Via tersenyum dengan
bangga sebelum mengucapkan nama buah hati kesayangannya.
“Teddy.
Teddy Avrilliandy.”
0 komentar