06. ANNISA NOVIANTY - LANTUNAN AYAT SUCI DI ROMA
04.56
Azma mendarat di Bandara Ciampino dengan
hanya membawa segelintir barang bawaan. Ia berjalan kesana kemari memikirkan
apa yang harus ia lakukan setelahnya. Ia tidak tahu menahu tentang Roma, ia
tidak tahu tujuannya kemari, bahkan ia tidak tahu bahasa yang digunakan
masyarakat di sini.
Ya. Azma memang sungguh bodoh, namun segala resiko yang mungkin terjadi atas kebodohannya itu terkalahkan oleh api yang membara dalam hatinya. Semua hal akan menjadi logis di matanya, ya sudah sangat berkobar di dalam diri manusia, begitu juga yang dirasakan Azma. Setelah cukup lama berjalan kesana kemari tanpa tujuan, akhirnya ia beranjak pergi membawa semua barang bawaanya. Ia menaikki taxi yang berhenti tepat di depannya. Barang-barang yang ia bawa ia letakkan di dalam bagasi.
Ya. Azma memang sungguh bodoh, namun segala resiko yang mungkin terjadi atas kebodohannya itu terkalahkan oleh api yang membara dalam hatinya. Semua hal akan menjadi logis di matanya, ya sudah sangat berkobar di dalam diri manusia, begitu juga yang dirasakan Azma. Setelah cukup lama berjalan kesana kemari tanpa tujuan, akhirnya ia beranjak pergi membawa semua barang bawaanya. Ia menaikki taxi yang berhenti tepat di depannya. Barang-barang yang ia bawa ia letakkan di dalam bagasi.
"Sai ..dove gli appa--rtamenti sono a buon
mercato?" Azma
membolak-balikan kamus bahasa Italia yang berada di tangannya dengan decak
kesal di mulutnya.
"
Ya, saya tahu dimana hotel dengan harga terjangkau. Anda ingin saya antar
kesana?" Jawab sang supir taxi. Azma membulatkan matanya, seakan tak
percaya dengan apa yang supir taxi itu katakan.
"Maaf?
Kau bisa berbicara bahasa Indonesia?"
"
Ya, ibuku orang Indonesia. Saya akan mengantarkan anda ke Hotel
Donatello." Sang supir tersenyum ramah dari balik kaca spion depan.
Azma hanya menatapnya bingung dan mengangguk
perlahan. Sepanjang perjalanan ia hanya diam menatap jalanan kota Roma sembari
membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya pada hidupnya. Ia sebatang kara
di sini, ia tak memiliki siapapun untuk mengadu. Hidupnya akan berubah di sini,
itu semua adalah resiko dari semua keputusan yang telah dibuat Azma. Tetesan
air mata jatuh dari pelupuk matanya, ia mulai mengingat alasan ia terbang ke
Roma.
"Kita sudah sampai nona."
Perkataan sang supir membangunkan Azma dari lamunannya, lalu mengelap kedua
bola matanya. Ia mengeluarkan dua lembar uang bernilai 5£ dan memberikannya
kepada supir tersebut. "Ambil kembaliannya."
"Terima kasih nona. Selamat menikmati
liburan anda." Kembali sang supir memberikan senyuman terbaiknya. Ia hanya
membalasnya dengan senyuman miris. Ia mengalihkan mata kebawah menatap kedua
kakinya lalu menghembuskan nafas perlahan. " Lupakan semuanya. Kau pasti
bisa Azma."
Azma bangun dari istirahatnya yang cukup
panjang. Sekarang sudah pukul jam 10 malam, namun Azma memutuskan untuk mencari
udara segar. Ia memutuskan untuk minum di kedai kopi, sembari menunggu pesanan
datang ia mengecek isi dompetnya. Ia menghitung lembaran-lembaran uang yang ada,
Azma bernapas lega karna uang yang ia miliki terasa cukup untuknya, belum lagi
uang yang ada di koper miliknya. Tepat setelahnya, kopi yang ia pesan
diantarkan kemejanya.
Tiba-tiba seorang
wanita menghampiri Azma lalu duduk tepat di depan Azma. “ Kau pasti orang
Indonesia. Kau sekolah di sini? Atau sekedar liburan? Oh, ya perkenalkan namaku
Greeta.” Wanita yang terlihat sepantaran denganAzma itu tersenyum ramah.
“Tidak, aku
kabur.Hanya ingin bersenang-senang dan
menghabiskan uang kedua orang tuaku. Aku Azma.” Jawabnya datar.
“Bersenang-senang di kedai kopi? Kau tidak
ingin ke club? Aku akan
memperkenalkanmu dengan teman-temanku. Kau mau?” Azma mengangguk lalu ikut
dengan wanita itu. Ia tahu ia belum mengenalnya sama sekali, tapi apa salahnya
ia mengikuti kebiasaan orang Roma? Ia sedang berada di Roma, tidak salah jika
ia mencobanya.
Ia keluar dari club dalam keadaan mabuk.
Walau tak terlalu berat tetapi ia sudah menyeleweng dari semua kebiasaannya.
Setan sedang menguasai dirinya. Azma mencari taxi seorang diri, kebetulan taxi
lewat dan langsung diberhentikan olehnya. Ia masuk lalu duduk bersender,
kepalanya sudah sangat pusing.
“Maaf nona, apakah kita pernah bertemu
sebelumnya? Mengapa kau mabuk? Kau mau kuantar ke hotel yang kemarin?” Karna kepala
Azma sudah berdenyut dengan keras, ia hanya membalas pertanyaan supir taxi itu
dengan anggukan.
“Kenapa aku bukan anak kandung mereka?
Kenapa!!!....” Ucap Azma mengigau, ia merengek seperti anak kecil.
“Kenapa dunia ini tidak adil?! Aku malu….”
Supir taxi itu hanya kebingungan lalu melirik Azma dari kaca spion lalu
mengantarkan Azma sampai tujuan tanpa dibayar.
Keesokan harinya wanita yang mengajaknya ke club mengunjungi kamar hotelnya. Azma terkejut atas kedatangannya karna ia tidak memberitahu dimana tempat ia tinggal. Namun dompet milik Azma tertinggal dan wanita itu berniat mengembalikannya dan mengajak Azma untuk ke club lagi dan menyuruh Azma membawa semua uangnya untuk bersenang-senang. Dengan itu, Azma teringat taxi yang ia tumpangi semalam. Ia belum membayarnya. Azma bertemu supir taxi itu di dalam club. Ia mengahampirinya lalu membayar ongkos taxi kemarin, namun ia menolaknya.
“Kau lebih baik pergi dari sini, sebelum kau menyesal. Namaku Abi.” Ucap Abi -supir taxi- dengan nada panik.
“Apa aurusanmu?
Aku Azma.” Azma langsung berlalu pergi. Namun Abi menarik tangan Azma lagi.
“Kau benar-benar
harus pergi.” Ucap Abi memohon.
“Apa pedulimu?
Orang tuaku saja tidak peduli. Aku ingin bersenang-senang.”
“Tapi aku
peduli, kau akan menyesal nanti. Dan hei, bersenang-senang bukan dengan cara
seperti ini.”
“Kau tidak tahu, aku kecewa dengan semuanya. Orang tuaku bercerai karan ibuku terkena kasus penipuan. Dan kau tahu apa yang lebih sakit? AKu bukan anak kandung mereka!! Jadi, lepaskan aku.” Azma langsung menghentakkan kakinya lalu pergi.
Azma menghampiri teman-temannya. Mereka mengajak Azma untuk berjudi. Azma pun menerima tawaran itu dengan senang hati. Azma bermain beberapa kali dan selalu kalah, ia telah bertaruh 5000£ uangnya sudah habis. Dengan itu ia memutuskan untuk kembali kerumahnya. Ia berjalan di pinggir trotoar seorang diri. Tiba-tiba seseorang berbadan besar merangkulnya dari belakang lalu menariknya dengan keras. Azma tidak bisa berkutik. Ia dibawa ke ujung jalan yang gelap. Ia tahu bahwa ia tidak bisa berontak. Orang yang menariknya membuka kancing baju Azma dengan kasar. Azma benar-benar ketakukan. Ia memejamkan matanya, seketika ada bunyi yang keras dan Azma langsung membuka matanya. Abi sedang menghajar orang itu hingga babak belur dan menyerah.
“Biar kuantar
pulang.” Ucap Abi.
“Terima kasih.”
Jawab Azma dengan datar.
“Aku yakin
uangmu telah dikeruk oleh mereka.”
“Bukan
urusanmu.” Jawab Azma ketus. Abi hanya menghembuskan napasnya .
Setelah sampai, tanpa berbasa-basi ia
langsung pergi ke kamar hotelnya. Ia mengecek barang bawaannya dan mencari uang
yang ia bawa. Namun hasilnya nihil, hanya ada selembar kertas dan amplop diatas
meja. Kertas itu bertuliskan:
Terima Kasih atas uangmu gadis bodoh. Jaga kunci kamarmu baik-baik, kau tidak perlu melaporkanku. Ku tidak akan bisa menemukanku turis bodoh.
“Sialan!!!” ia berteriak lalu pergi dari
kamar hotel dengan berlari.
Azma merasa hidupnya sia-sia, ia
tidak tahu kemana kakinya membawa pergi. Ia sudah merasa hancur, semua uangnya
lenyap. Cobaan apalagi yang akan menimpanya? Ia merasa putus asa. Ia berhenti
di tengah-tengah jembatan yang luas. Angin malam membuat bulu kuduknya berdiri.
Menambah suasana sendu dalam hatinya. Kini ia berpikir untuk terjun dari atas
jembatan. Ia menghembuskan napas panjang, bersiap untuk menjatuhkan diri dari
atas jembatan. Namun badannya yang mungil ditarik kembali oleh seorang pria
yang berbadam cukup besar. "Apa yang kau lakukan?! Mengapa kau selalu
muncul ketika aku sedang sulit. Dasar Penguntit!! JANgan harap kau kuanggap
sebagai pahlawan." Teriak Azma tepat di depan wajah Abi.
"Harusnya
aku yang bertanya padamu. Apa yang kau perbuat itu sungguh bodoh. Masih banyak
jalan keluar. Aku bukan penguntit. Itu hanya kebetulan."
"Berhenti
mencampuri urusanku!!" Ia langsung berlalu pergi meninggalkan Abi.
Berhari-hari Azma mengurung dirinya di kamar
hotel. Akan tetapi, sudah tiba saatnya ia harus meninggalkan kamar hotelnya
karna ia tidak memiliki cukup uang lagi untuk membayarnya. Setelah selesai
merapihkan semua barang bawaannya, ia berjalan keluar hotel. Ia berusaha
mencari rumah sewa yang cukup untuk kantongnya, namun ia tak kunjung
menemukannya. Karna sudah lelah berjalan ia akhirnya duduk di pinggir trotoar
jalan menyandarkan dahinya pada kedua lutut.
Seseorang menepuk pundaknya, ia mengangkat
kepalanya perlahan. Matanya menangkap pria itu lagi di hadapannya. Matanya yang
masih menatap pria di hadapannya mulai berkaca-kaca hingga napasnya mulai
sesenggukan. "Ma..maaf--kan aku Abi...." Ucapnya terbata-bata. Abi
hanya tersenyum lebar di hadapannya sambil mengulurkan tangan pada Azma.
Azma terbangun dari tidurnya tepat pukul 5
karna suara lantunan ayat suci menggema di telinganya. Ia menatap ke sekeliling
kamar dan mememukan Abi sedang membaca Al- Qur'an di sudut kamar ini. Azma
seakan tersentuh dengan suara Abi yang begitu indah. Sudah sangat lama ia tidak
membaca Al Qur'an, bahkan ia tidak tahu kapan terakhir kalinya ia menyentuhnya.
Ia sudah merasa sangat hina, merasa sudah tidak pantas berpijak di bumi Allah
SWT.
"Kau mau shalat?" Abi membangunkan
Azma dari lamunannya. Azma menatapnya dalam untuk beberapa saat lalu mengangguk
perlahan. Dengan itu, senyum di pipi Abi merekah menampakkan kedua lesum di
pipinya. "Kau masih ingat cara berwudhu?"
"Sedikit"
ucap Azma ragu.
"Kalau
begitu aku akan mengajarimu." Memdengar ucapan Abi, seketika rasa bersalah
muncul di hatinya. Mungkin ini saatnya untuk Azma berubah menjadi lebih baik.
Belajar menghadapi masalah dengan hati dan otak yang tenang.
Azma memakan sarapan yang telah dibuat Abi
secara perlahan. Ia masih malu dengan Ab, ia terlalu baik untuk Azma. Ia rela
tidur di sofa hanya karna Azma tidak memiliki tempat bernaung. Azma rasa ia
harus benar-brnar meminta maaf dan harus berterima kasih padanya. Azma membuka
mulutnya untuk berucap, namun Abi mendahuluinya.
"Jika
kau butuh pekerjaan, aku tahu dimana tempat yang memiliki lowongan
pekerjaan."
"Tidak perlu, aku memutuskan untuk
kembali ke Indonesia. Abi, maafkan atas segala perbuatanku yang sangat tidak
mengenakkan, aku tahu aku memang gadis tidak berguna.Dan… terima kasih untuk
semua yang kau perbuat untukku. Aku tidak tahu bagaimana cara aku membalasnya…."
Azma mengembangkan senyum ikhlasnya pada Abi.
"Kau sungguh berlebihan, sebagai sesama
muslim dan sesama keturunan Indonesia, aku berkewajiban untuk membantumu. Dan..
Oh ya, kapan kau akan berangkat? Mungkin aku bisa memesankan tiket
untukmu." Balas Abi dengan senyumnya yang indah.
"Besok. Aku benar-benar berterima kasih
atas segalanya. Oh ya, kau tidak tinggal bersama orang tuamu?" Azma
menaikkan sebelah alisnya.
Abi menundukkan kepalanya, “ kedua orang tuaku
sudah berpisah sejak umurku masih 10 tahun. Ibuku sedang dalam masa perawatan,
ia masih koma sekarang.” Mata Azma seketika membelalak mendengar jawaban dari
Abi. Ia semakin merasa bersalah dan malu pada Abi.
“Apakah aku bisa menjenguk ibumu? Aku yakin
ibumu pasti orang yang cantik dan baik” Azma berusaha membangun suasana.
“Tentu, ibuku pasti senang. Kita bisa membeli
tiket pulangmu sekalian.” Senyum Abi kembali merekah.
Azma menghampiri ibu Abi yang terbaring
lemah di kasur perawatan. Ia menatap wajah ibu dari Abi, wajahnya mirip seperti
Abi walau wajah Abi khas orang-orang Italia. Wajahnya begitu cantik, namun
kulit sawo matangnya telah menjadi pucat pasi. Badannya sungguh rapuh, Azma
menyentuh tangannya, dingin, itu yang dirasakan olehnya. Azma merasa iba,”bagaimana Abi bisa kuat menghadapai semuanya
sendirian?” pikir Azma. Tanpa terduga, pipi Azma telah basah oleh
airmatanya sendiri. Dengan sigap tangannya menghapus air mata yang jatuh.
“ Itu sebabnya aku masuk ke Fakultas
Kedokteran. Aku bertekad untuk bisa membantu orang yang membutuhkan.” Abi
menatap mata Azma dan kembali membuka mulut, “kau mau membacakan Al Qur’an
untuknya? 2 ayat pun tak apa.” Abi berkata perlahan pada Azma. Dengan senyum
yang ikhlas, Azma menerima tawaran dari Abi. Azma lalu duduk di samping ibu Abi lalu bersiap
untuk membaca Al Qur’an. Setidaknya ia masih bisa membca ayat dari surah-surah
pendek. “Audzubillahi minasyaitan
nirrojim…”
Keesokan harinya, Azma berpamitan pada Abi.
Pesawat yang ia tumpangi nanti akan lepas landas 30 menit lagi. Sebelumnya,
Azma telah meletakkan amplop yang berisi surat dan sisa seluruh uang Azma di bawah bantal kasur milik Abi. Ia
berpikir walaupun jumlahnya tidak banyak paling tidak dapat membantu Abi. Dalam
hatinya, ia masih bersyukur orang itu masih menyisakan uang untuknya. Ia harap
Abi tidak akan putus kuliah dan ibunya bisa kembali sehat seperti dahulu.
“Azma, sampai bertemu lain waktu. Ini
untukmu, kuharap kau akan menggunakannya.” Ucap Abi menyerahkan kotak yang
lumayan besar. Azma tersenyum pada Abi lalu berlari masuk untuk boarding.
Merasa sudah
cukup jauh, Azma memutar badannya lalu berteriak .“Assalamualaikum Abi…” lalu
kembali berlari sambil membuka kotak dari Abi. Saat melihat isinya yang
terdapat jilbab dan alamat email Abi, ia langsung berhenti lalu menengok ke
belakang, Abi sudah tidak ada. Azma tersenyum, “aku akan memakainya Abi.”
0 komentar