26. RUTH BRENDA PAULINA GULTOM - SEPI

02.21

Semenjak kejadian itu, aku tidak pernah lagi ingin mengenal apa itu cinta. Sungguh, mengingatnya saja aku sudah muak. Mungkin ini memang jalan hidupku menjadi seorang penyendiri. Atau memang aku saja yang tidak kuat menghadapi gelombang kehidupan yang kadang menebarkan bunga berbau harum yang memabukkan dan kadang pulang menusuk dengan pedang bermata dua. Mungkin juga aku yang lemah. Entahlah. Akan kuceritakan bagaimana awal dari ketawaran hatiku ini.


Nama ku Teddy Avrilliandy. Tidak, aku tidak senang dengan nama itu. Panggil saja aku Teddy. Mereka bilang aku pendiam dan sulit bergaul. Ah, siapa peduli dengan kata orang. Mereka tidak tau, bahwa saat aku rindu sentuhan hangat ibu, mama malah sibuk bergaul dengan ibu-ibu lainnya. Mungkin arisan atau sekedar hang out di mall. Saat aku memerlukan tuntunan dan sosok ayah, papa terlalu sibuk bahkan larut dalam urusan bank swasta ternama yang memang sih, harus ku akui, berhasil menumpuk harta kekayaan keluargaku dimana-mana. Namun, aku masih tidak mengerti, mengapa ia bekerja seperti tidak ada lelahnya. Apa dia pikir, mobil dan motor keren berharga jutaan yang dibelikannya sebagai hadiah ulang tahunku tahun ini dapat membuat ku bahagia? Entahlah.

Selama 17 tahun hidupku, kerap kali keluargaku berpindah-pindah tempat tinggal. Kami terpaksa melakukan hal tersebut karena tuntutan pekerjaan ayah. Bayangkan, pada saat aku masih duduk di bangku kelas 1 SMA, aku sempat merasakan berada di 3 sekolah dalam 1 tahun ajaran. Hal ini pula yang membuat aku malas berteman. Aku sudah tau bagaimana pertemanan akan mengalir bagiku. Beberapa waktu setelah aku sudah menjalin hubungan dengan teman-teman yang asyik, misalnya di Bali saat itu, pada akhirnya mau tidak mau aku harus pindah ke Bandung. Begitu pula pada saat aku berada di Semarang, Makassar dan kota-kota lain yang pernah menjadi penetapan keluargaku.

Sekarang disinilah aku berada. Di kota Solo dimana sebagian keluarga besarku tinggal. Selepas masa putih abu-abu memang sudah ku rencanakan untuk melanjutkan kehidupanku di kota kecil nan hangat ini. Awalnya mama bersikeras untuk mewujudkan impiannya, yaitu menyekolahkan anak semata wayangnya di Universitas Indonesia yang kemilaunya memikat hati banyak pelajar SMA seluruh negri itu. Namun, aku tetap tidak mau. Mendaftar pun tidak. Aku hanya ingin kuliah di Solo dengan tenang, jauh dari hiruk pikuk kota Jakarta dan juga bayang-bayang perintah Papa dan Mama.

Di Solo, aku merasa lebih bahagia. Disini aku tinggal bersama Bude Sekar dan anaknya yang tidak lain adalah sepupuku, Maestra namanya. Maestra 1 tahun lebih tua dariku. Kami kuliah di perguruan tinggi yang sama. Hal ini juga yang membuatku betah, karena Maestra sering membantuku menyesuaikan diri dengan universitas dan Kota Solo. Pada saat ospek mahasiswa baru, Maestra turut mengerjakan tugas-tugas ribet yang diberikan oleh panitia ospek hingga larut malam.

Pada suatu pagi yang dingin aku melangkah ke ruang kelasku. Ternyata ada dia, wanita yang berhasil menahan pandanganku semenjak aku melihatnya pada saat ospek. Dia terlihat sedang sibuk dengan tumpukan kertas diatas mejanya. Aku menyapanya dan dia pun melayangkan senyumannya yang ku akui lebih sejuk daripada embun pagi. Aku pikir ini hanya rasa kagum biasa. Namun, seiring berjalannya waktu aku tidak bisa berhenti memikirkan paras khas Solo yang cantik itu. Ku ceritakan hal ini kepada Maestra.

"Deketin aja, siapa tau jodoh, Ted", ujar Maestra. Aku hanya tersenyum kecil. "Emang siapa namanya?", tanyanya. "Nggak tau, gue belom sempet nanya. Ga berani juga lagian", ujarku kepada Maestra. Walau umur kami terpaut 1 tahun, tapi Ia tidak mau di panggil dengan embel-embel kakak atau mas. Katanya sih, agar terasa lebih akrab. Waktu aku sempat tinggal di Solo dulu, kami memang sering bermain bersama.

"Cara ngajak kenalannya kira-kira gimana, ya? Lama-lama gue bisa gila kalo kepikiran gini terus", ujarku. Tanpa kusadari aku tidak berhenti tersenyum. Maestra menatapku seakan-akan aku badut yang sedang melucu di hadapannya. "Apaan sih", ucapku sambil mendorongnya pelan. "Kalo mau ngedeketin cewe, ya harus kreatif, Ted. Berani dulu ajak kenalan, ngobrol-ngobrol, minta nomor hapenya, kasih bunga.......". "Ah, ga segampang itu. Malu gue", ujarku memotong perkataannya. "Yah, kalo malu terus nanti jodohnya diambil orang, Ted!", canda Maestra.

Benar juga apa yang dikatakan Maestra. Masa, nama wanita itu saja aku tidak tahu. Saat aku sedang menyalakan radio, diputarkan lagu When You Love Someone oleh penyiar radio diseberang sana....


When You Love Someone
Just be brave to say
That you want her to be with you

When you love someone
Don't ever let her go
Or you will lose your chance
To make your dreams come true

Aku tersentak mendengar lirik itu. Ah, sikap pemalu ini sudah sangat merugikanku. Andai saja aku berani bilang 'hai' padanya, andai saja aku berani mengajaknya mengerjakan tugas kuliah bersama. Pasti setidaknya aku telah mengenalnya walaupun hanya sedikit lebih dekat daripada tak tahu namanya sama sekali.

Aku melanjutkan hari-hari kuliahku yang semakin hari semakin sibuk dengan tugas-tugas dari dosen. Aku juga berusaha bergaul dengan orang-orang yang berpotensial untuk ku jadikan teman. Berpotensial untuk menjadi teman yang asyik diajak nongkrong sampai orang seperti Davita yang super rajin, sehingga cocok untuk ku jadikan teman untuk bertanya tentang tugas-tugas kuliah yang tidak ku mengerti. Ada juga si Farrell, bocah tengil yang betah ku ajak berlama-lama menghabiskan waktu di bengkel untuk memodifikasi motor kesayanganku itu. Dan tentu saja, diriku yang tenggelam dalam mabuk asmara ini juga sibuk memperhatikan gerak-gerik si dia dari jauh. Ku akui, aku lebih optimis membangun hubungan pertemanan di perkuliahanku ini, setidaknya aku akan menetap di Solo dalam 4 tahun dan tidak akan berpindah-pindah tempat lagi.

Walau aku telah memiliki beberapa teman, belum satupun dari mereka yang sudah ku ceritakan tentang ketertarikan ku pada wanita yang tak kunjung-kunjung meninggalkan pikiranku itu.

Suatu sore yang hangat seusai mata kuliah matematika, aku menelusuri Jalan Mohammad Yamin dengan motor. Aku senang dengan atmosfer hangat yang disuguhkan jalan ini. Rasanya, lelah yang telah ditimpakan dosen killer itu segera hilang. Ku sempatkan diri mengunjungi Starbucks yang berada disudut jalan. Sambil melanjutkan tugas makalah ekonomi, ku seruput  Mocha Macchiato di sana. Aku memang sering menghabiskan waktu luang ku untuk mengerjakan tugas atau sekedar menghilangkan penat semata di cafe atau restaurant. Maklum saja, uang jajan yang diberikan papa memang besar untuk ukuran mahasiswa di belajar di kota orang. Satu jam.... dua jam... empat jam... akhirnya rampung tugas makalahku ini. Aku melangkahkan kakiku keluar dari Starbucks dan segera pulang.

Dalam perjalanan , aku melihat toko bunga yang masih terlihat segar seperti warna bunga matahari yang ada di halaman toko itu. Pikiranku langsung teringat dengan dirinya. "Hmmm.. apa gue beliin dia bunga ya? Tapi gimana ngasihnya? Ah, yaudahlah, jadi secret admirer pun jadi", pikirku dalam hati. Ku parkir motorku di depan toko itu dan seorang florist yang sangat ramah menyapaku. "Jago juga dia  merayu orang untuk membeli bunga disini", pikirku.

Ku rangkai bunga-bunga mawar merah jambu dan mawar putih itu bersamaan. Aku tidak memilih warna merah yang terkesan terlalu romantis. Florist ramah tadi mencoba membantuku untuk memilihkan bunga-bunga lain, tapi seleranya agak aneh. Kuucapkan terimakasih dan kutinggalkan toko bunga yang harum itu.

Langit sudah gelap saat aku tiba di rumah Bude Sekar. Rumah mungil yang tetap saja hangat dan terlihat bersih kapanpun. Ya, Bude Sekar memang wanita yang sangat ulet dan rapi. Maestra terlihat sedang membungkus sebuah kotak dengan ukuran yang lumayan besar dengan kertas berwarna abu-abu saat aku menuju ke kamar tamu yang sekarang ini menjadi kamarku.

"Wah, bunga buat siapa tuh, Ted? Romantis banget kamu, ya", ucapnya kepadaku. Tak kuduga senyumku akan mengembang. "Ya, ada lah, buat seseorang. Lo mau ngasih kado ,ya? Buat siapa tuh?", balasku. Bukannya menjawabku, Maestra hanya tertawa kecil dan kembali sibuk membungkus kotak tadi.

Memang sudah jarang aku berbicara tentang wanita cantik itu kepada Maestra, jadi mungkin dia sudah melupakannya. Segera aku mandi dan istirahat supaya keesokan harinya aku bisa bangun lebih pagi untuk meletakkan bunga ini di atas mejanya. Setelah mandi, aku beranjak tidur. Namun, semenjak kehadirannya, memejamkan mata pun terasa sulit, mungkin senyumannya lebih indah daripada bunga tidurku... Ah yasudah lah, apa gunanya aku memikirkannya terus jika ia tidak tahu mengenai kekagumanku. Suatu saat aku harus mengutarakan perasaanku kepadanya.

Keesokan paginya, buru-buru aku mengeluarkan motorku dan pamit kepada Bude Sekar. Namun, tak seperti biasanya, Maestra sudah pergi ke kampus. "Ada urusan kuliah katanya, Ted", ujar Bude Sekar saat melihat wajah bingungku mencari-cari motor Vespa Maestra yang telah lenyap pagi itu. "Baiklah, Bude", balasku sambil tersenyum dan mengangguk.

Setiba di kampus, ku tarik nafas dalam-dalam. Jantung ku berdebar tidak karuan. "Teddy, lo kan ngga bakal liat mukanya juga, cuman naro bunga doang. Stay cool aja kali", pikirku. Aku kembali melangkah.

Sepertinya waktu itu belum ada orang selain aku. Kuberanikan diri untuk membuka pintu kelas wanita cantik ini dengan perlahan. Kreeeekkkk... bunyi engsel pintu itu diikuti dengan doronganku dan pintu itupun terbuka.

Ditengah ruangan kelas itu, aku melihat wanita cantik itu sedang tersenyum. Ah, senyum itu lagi. Namun, terlihat ia tidak sendirian. Aku layangkan perlahan pandanganku kepada lelaki disebelahnya yang sedang menyodorkan kado......astaga! Lelaki itu Maestra!

Aku tidak dapat mempercayai apa yang kulihat. Maestra menatapku dengan tatapan bingung. "Loh, kok ada Teddy. Pagi banget kamu, Ted, dateng kuliah. Kamu sekelas juga dengan Arin? Wah, dunia memang sempit, ya.", ujarnya didepan wanita cantik yang ternyata bernama Arini itu. Nama yang indah, sangat cocok dengan pemilik nama itu sendiri. Aku menggeleng, "Enggak, Maes. Gue tadi lagi mau ngambil buku aja, kemaren ketinggalan pas kelas tambahan disini", balasku mencari-cari alasan. "Oh, kok dateng pagi banget, Ted? Eh, oh iya, kenalin nih pacar gue, Arini. Rin, kenalin ini sepupu aku, namanya Teddy". Ia menyodorkan tangannya dan tersenyum kepadaku. Perasaanku campur aduk. Kaget karena ternyata Arini adalah kekasih Maestra, kecewa, sedih, entahlah. Aku cepat-cepat membalas jabatan tangannya agar mereka tidak melihat ekspresiku yang sudah tidak karuan.

"Ted, Arin ulang tahun nih hari ini. Hehehehe. Ucapin happy birthday dong", ujar Maestra. Didepan kue tiramisu yang sudah redup lilinnya itu, kuucapkan selamat ulang tahun kepada Arini. Namun, aku tidak berani menatap matanya. Hatiku sudah layu seperti bunga mawar yang telah ku buang didepan pintu kelas Arini sesaat setelah mataku melihat ini semua.

"Yaudah ya, gue cabut ke kelas dulu, hehe", aku melontarkan kalimat itu tanpa pikir panjang. 'Yaudah deh, Ndy. Sampai ketemu nanti ya' "Iya", balasku singkat. Arini kembali tersenyum kepadaku. Ya, kali ini senyuman itu memang hanya untuk ku. Namun rasa bahagia itu hanya sesaat saja seperti petir dan berakhir saat tangan Maestra menggenggam erat tangannya. Sial, aku harus menyaksikan adegan ini.

Segera kuangkat kakiku, walau rasanya berat sekali. Tanpa kusadari, aku menangis. Ini kali pertama air mataku jatuh dan penyebabnya adalah seorang wanita. Tidak pernah kusangka aku akan jadi seperti ini. Tidak pernah kusangka wanita yang selama ini kuperhatikan gerak-geriknya dari kejauhan selama 3 bulan terakhir ini adalah kekasih hati Maestra.

2 bulan berlalu sudah. Semenjak kejadian itu, hatiku kembali beku seperti dahulu saat aku belum merasakan kehangatan Kota Solo. Aku terpuruk. Langit diatas kepalaku menjadi lebih gelap daripada bungkus kado abu-abu dari Maestra yang diperuntukkan kepada Arini.

Dengan berat hati aku mencoba melupakan sosok Arini. Kucoba menyibukkan diriku dengan segudang aktivitas, namun bayangannya tak kunjung pudar, malah terkadang semakin menusukku lebih dalam. Ya, mungkin ini yang orang bilang pelajaran hidup. Dia tidak ditakdirkan untukku. Atau mungkin saja dia ditakdirkan untukku, namun bukan sekarang.

Ah, sungguh aku tidak ingin berharap lagi. Kuteguk Vanilla Frappucino di sore yang mendung ini, ditempat yang sama saat aku dulu mengerjakan makalah ekonomi sebelum membeli bunga untuknya. Tiba-tiba diputarkan kembali lagu When You Love Someone yang dulu pernah kudengar di radio. Namun, aku tidak tersenyum berbunga-bunga lagi mendegar lagu itu.

Yes, maybe I have lost my chance to tell her about my love and make my dreams come true.... 

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe